Kepala LKPP Baru Dilantik, Momentum Bersih-Bersih Pengadaan Publik

Sarah Sadiqa (kedua dari kanan) saat pelantikan menjadi Ketua LKPP menggantikan Kepala LKPP sebelumnya Hendrar Prihadi. Foto: tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden (17/09/2025)

Jakarta, 17 September 2025 – Transparency International Indonesia (TI Indonesia) menilai pelantikan Sarah Sadiqa sebagai Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada 17 September 2025 merupakan momentum untuk melakukan bersih-bersih sektor pengadaan barang/jasa (PBJ), terutama di tengah mandeknya agenda reformasi dan memburuknya tata kelola pengadaan setelah lahirnya Perpres 46 Tahun 2025.

Korupsi PBJ adalah masalah yang tak kunjung terselesaikan. Data KPK menunjukkan hampir 90 persen perkara korupsi yang disidangkan sepanjang 2024 berkaitan dengan pengadaan. Survei Penilaian Integritas (SPI) mencatat lebih dari 80 persen pemerintah provinsi dan dua pertiga pemerintah kabupaten/kota masih masuk kategori rentan korupsi akibat lemahnya tata kelola pengadaan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya 1.189 kasus korupsi PBJ terjadi sepanjang 2019–2023 dengan total kerugian negara mencapai Rp 47,18 triliun.

Sayangnya, Perpres PBJ terbaru justru memperbesar celah korupsi. Ambang batas pengadaan langsung dinaikkan hingga Rp400 juta dan Rp100 miliar tanpa kewajiban tender terbuka. Kriteria penunjukan langsung juga diperluas untuk program prioritas dan bantuan Presiden, tanpa akuntabilitas yang jelas. Selain itu, diskresi besar juga diberikan kepada menteri atau kepala lembaga untuk menetapkan program prioritas hanya berdasarkan arahan Presiden. Sejumlah aturan lain, seperti mulai dari tidak konsistennya aturan TKDN, perluasan swakelola, hingga Pasal 77 dan 78 yang lemah dalam pengawasan, menunjukkan arah kebijakan yang kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi.

​​“Perpres PBJ 2025 adalah langkah mundur. Regulasi ini memperbesar ruang diskresi elit politik alih-alih memperkuat transparansi. Pelantikan Kepala LKPP yang baru harus menjadi titik balik, agar setiap rupiah belanja negara dapat diaudit publik,” ujar Agus Sarwono, Peneliti TI Indonesia.

Menurut TI Indonesia, Kepala LKPP bukan sekadar rotasi jabatan, melainkan momentum penting untuk menata kembali arah kebijakan pengadaan yang saat ini diwarnai oleh praktik penunjukan langsung yang kian dominan dan  mewarisi pekerjaan rumah besar. Implementasi Perpres 2025 membutuhkan aturan turunan, tetapi justru di titik ini risiko ketidaksinkronan dan lemahnya kapasitas daerah akan memperburuk masalah. Peraturan LKPP yang memperbolehkan penunjukan langsung berdasar “arahan Presiden” juga membuka ruang abuse of power yang lebar. Regulasi KPBU juga sudah diganti, namun keterbukaan dokumen studi kelayakan, matriks risiko, dan kontrak masih jauh dari harapan. Program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis yang baru berjalan pun sudah diidentifikasi penuh titik rawan oleh BPKP. 

Sebagai lembaga yang dirancang untuk menjaga integritas sistem belanja negara, LKPP sudah seharusnya berdiri di garis depan dalam mencegah korupsi pada Proyek Strategis Nasional (PSN). Peran dan fungsi LKPP tidak sekadar administratif atau prosedural, tetapi secara aktif menciptakan mekanisme pengadaan PSN yang lebih transparan, partisipatif  dan akuntabel. LKPP dapat mengambil peran utama dalam mengawal setiap perencanan kebutuhan, penentuan cara pengadaan, proses pengadaan, hingga serah terima pekerjaan. 

Tanpa pengawasan ketat dari LKPP, PSN justru rawan menjadi ladang rente dan oligarki bisnis melalui praktik mark-up, penunjukan langsung, dan kolusi penyedia. Oleh karena itu, penguatan LKPP sebagai pengawal integritas PSN bukan hanya mandat kelembagaan, melainkan syarat mutlak agar pembangunan infrastruktur nasional tidak berubah menjadi skema akumulasi korupsi yang merugikan warga negara.

Saat ini, LKPP memiliki tanggung jawab besar untuk mendorong penggunaan metode pengadaan terbuka seperti e-tender dan e-purchasing yang lebih transparan, adil, dan kompetitif. Penguatan kebijakan, optimalisasi teknologi pengadaan elektronik, serta peningkatan kapasitas aparat pengadaan menjadi prioritas utama agar praktik penunjukan langsung tidak lagi menjadi jalan utama yang berisiko merusak kepercayaan masyarakat.

Oleh karena itu, TI Indonesia menekankan lima langkah mendesak yang harus segera diambil:

  1. Tutup celah penunjukan langsung berbasis “arahan”
    Terapkan prasyarat ketat mulai dari uji pasar, analisis value for money, conflict-of-interest register, publikasi dokumen justifikasi, dan probity audit independen untuk setiap penunjukan langsung program prioritas/bantuan pemerintah.
  2. Buka data kontrak dari hulu ke hilir
    Wajibkan publikasi proaktif rencana PBJ, dokumen tender/seleksi, kontrak dan adendumnya, serta beneficial owners penyedia melalui portal nasional yang mengikuti praktik keterbukaan kontrak modern (termasuk metadata e-Catalog/e-Purchasing dan performa penyedia).
  3. Perkuat kanal pengaduan dan perlindungan pelapor
    Satukan e-Pengaduan lintas K/L/PD dengan Service Level Agreement (SLA) yang tegas dan mekanisme rujuk ke APIP/KPK. Selain itu, jamin anonimitas dan anti-retaliasi bagi whistleblower.
  4. Proyek KPBU yang transparan dan akuntabel
    Pada Peraturan LKPP 1/2025, pastikan keterbukaan studi kelayakan, matriks risiko, dukungan pemerintah, dan pembayaran ketersediaan layanan, juga pastikan agar kontrak dan evaluasi kinerja dapat diakses publik dengan mudah.
  5. Penguatan UKPBJ & APIP di daerah
    Terbitkan paket pedoman transisi implementasi Perpres 46/2025 yang seragam, termasuk standar kompetensi, integrasi sistem, serta pengawasan berbasis risiko untuk program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis.

TII juga menyoroti bahwa Perpres 46/2025 perlu diikuti aturan turunan yang mencegah kembali ke praktik diskresi tanpa kontrol; termasuk revisi aturan e-Pengaduan dan e-Catalog agar memuat rating penerima manfaat dan rekam jejak kinerja penyedia.

“Pelantikan Kepala LKPP tidak boleh berhenti sebagai seremoni. Ini harus jadi momentum untuk bersih-bersih menyeluruh, agar praktik korupsi yang terus berulang dalam pengadaan bisa dihentikan,” tutup Alvin Nicola, Program Manager Tata Kelola Demokrasi TI Indonesia.


CP: Agus Sarwono, Peneliti TI Indonesia – asarwono@ti.or.id

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved