
Jakarta, 5 Februari 2025 – Transparency International Indonesia (TII) dan Forest Watch Indonesia (FWI) mendesak pemerintah, khususnya Prabowo Subianto, untuk membatalkan rencana perluasan kawasan kelapa sawit seluas 20 juta hektar. Di tengah masifnya korupsi di sektor kelapa sawit, kami menilai rencana itu adalah sesat berpikir yang jauh dari upaya pembenahan masalah struktural tata kelola sawit dan bukan solusi untuk keluar dari bahaya krisis iklim, pangan, energi dan air.
Kami menegaskan bahwa, perluasan 20 juta hektare lahan sawit hanya memperburuk ketimpangan penguasaan lahan, memperburuk deforestasi di Indonesia, memicu letupan konflik agraria dan sosial di berbagai daerah, menambah beban berlapis bagi tata kelola di sektor sawit dan berpotensi tinggi korupsi.
Saat ini luas konsesi perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai 17,1567 juta hektar. Angka ini akan lebih besar jika memasukan luas konsesi sawit yang tumpang tindih dengan konsesi lain, menjadi total 20,9 juta hektar. Konsesi sawit berhasil menjadi konsesi terluas dibanding dengan konsesi apapun seperti pemanfaatan hutan alam, pemanfaatan hutan tanaman, dan pertambangan. Luas konsesi sawit ini lebih dari 3 kali lipat luas Provinsi Bali. Namun, alih-alih memperketat pengawasan dan memperbaiki tata kelola, pemerintah justru semakin ugal-ugalan memberikan karpet merah bagi korporasi. Tercermin dalam Pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja yang melindungi atau/bahkan memberikan jalan bagi kebun sawit ilegal untuk mendapatkan legalitas hanya dengan memenuhi persyaratan administrasi tertentu. Belum lagi, ribuan pengusaha sawit yang mendapatkan kebijakan pemutihan berdasarkan 11 Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), terdapat lebih dari 1.000 perkebunan sawit ilegal milik korporasi yang telah beroperasi bertahun-tahun yang diampuni dosa-dosanya tanpa pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dengan diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja.
“Rencana ekspansi perkebunan sawit hingga 20 juta hektare tidak hanya akan memperparah ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia, tetapi juga berpotensi menjadi pemicu utama deforestasi dan konflik agraria. Ketika sebagian besar lahan dikuasai korporasi, masyarakat hanya mendapat sisa kecil, memperlihatkan betapa timpangnya akses terhadap sumber daya alam.” Papar Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia.
Hal lain yang mewarnai keruhnya tata kelola di sektor sawit adalah konflik kepentingan yang menyebabkan maraknya korupsi di sektor ini. Salah satu celah potensi korupsi di sektor sawit adalah keberadaan pengusaha-pengusaha yang teridentifikasi sebagai Politically Exposed Persons (PEPs). Berdasarkan riset yang dilakukan TI Indonesia menemukan 33 dari 50 perusahaan sawit yang dinilai oleh TI Indonesia dalam Transparency in Corporate Reporting (TRAC): Penilaian 50 Perusahaan Sawit Besar di Indonesia, memiliki direksi dan komisaris yang tergolong sebagai Politically Exposed Persons (PEPs) berjumlah 80 orang yang tersebar di 33 perusahaan sawit yang beroperasi di Indonesia. Komposisi tersebut terdiri dari: 19 orang berlatar belakang birokrasi; 19 orang pernah atau sedang memiliki jabatan strategis; 15 orang dekat atau kerabat PEPs; 7 orang berlatar belakang militer; 7 orang merupakan dan/atau terafiliasi dengan oligarki; dan 13 orang berlatar belakang aparat penegak hukum.
“Konflik kepentingan yang mengakar dalam tata kelola sektor sawit menciptakan celah besar bagi korupsi, terutama dengan keterlibatan Politically Exposed Persons (PEPs). Riset Transparency International Indonesia menemukan bahwa sebagian besar pemegang saham perusahaan sawit di Indonesia berstatus PEPs, mulai dari mantan birokrat, kerabat pejabat strategis, hingga aparat penegak hukum. Temuan ini menggarisbawahi bagaimana konsentrasi kekuasaan dan kepentingan pribadi memperburuk transparansi dan akuntabilitas di sektor sawit.” papar Lalu Hendri Bagus, Peneliti Transparency International Indonesia.
Tidak hanya itu, transparansi di sektor sawit menjadi permasalahan yang paling mendasar, dengan Kementerian ATR/BPN yang terus menolak membuka informasi Hak Guna Usaha (HGU) ke publik tanpa ada alasan yang jelas, meskipun telah ada putusan hukum yang inkracht. Ketidakpatuhan ini memperlihatkan bagaimana praktik pengelolaan lahan masih diselimuti oleh kepentingan segelintir kelompok yang memiliki akses terhadap kekuasaan.
Dampak domino dari tata kelola yang bermasalah dan karpet merah yang diberikan untuk korporasi ini menormalisasi tindak kekerasan dan/atau kriminalisasi sebagai tameng korporasi. Sepanjang tahun 2024, KPA mencatat 111 letusan konflik agraria di sektor perkebunan. Dari jumlah tersebut, 67% di antaranya dipicu oleh operasional perkebunan kelapa sawit, mencakup 127.281,30 hektare lahan dan berdampak pada 14.696 keluarga. Angka ini terus mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, memperlihatkan bahwa masalah struktural dalam pengelolaan perkebunan sawit di Indonesia masih jauh dari penyelesaian. Jika rencana perluasan kawasan sawit sebanyak 20 juta hektar tetap gas terus, maka, pemerintah dengan sengaja telah meletakkan kepentingan korporasi dengan dalih investasi di atas kepentingan lingkungan dan masyarakat, serta menghadirkan bencana baru di tengah-tengah krisis yang sedang dihadapi Indonesia.
Kendati sektor sawit berkontribusi terhadap pendapatan negara mencapai Rp 88 Triliun di tahun 2023, akan tetapi jika di zoom in, ada nilai kerugian ekologis dan sosial yang tidak terhitung oleh negara akibat dampak tata kelola di sektor sawit yang amburadul. Reformasi kebijakan dalam sektor kehutanan dan perkebunan kelapa sawit harus dilakukan dengan menegakkan prinsip keterbukaan informasi, memperketat pengawasan terhadap pelepasan kawasan hutan, serta memastikan bahwa hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Pemerintah harus mengedepankan kepentingan masyarakat dan lingkungan dalam setiap kebijakan yang diambil, bukan hanya mengejar ambisi ekspansi ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap ekosistem dan keadilan sosial.
Narahubung:
Lalu Hendri Bagus – TI Indonesia (0811-8869-711)
Anggi Putra Prayoga- Forest Watch Indonesia (0822-9831-7272