Merugikan Pelayanan Publik dan Melemahkan Demokrasi, Kebijakan Efisiensi Harus Segera Dievaluasi

ILUSTRASI

JAKARTA, 14 FEBRUARI 2025. Instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk mengefisienkan anggaran belanja kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah hingga Rp 306,69 triliun merupakan kebijakan yang tidak bijak ini patut dievaluasi kembali.

Selain secara substansi bermasalah, langkah penghematan ini juga kontraproduktif dan tidak sensitif dengan kebutuhan masyarakat, terlebih di tengah membengkaknya komposisi Kabinet Merah Putih serta besarnya tanggungan APBN untuk pembekalan kepala daerah di Akmil Magelang mendatang.

Sebelumnya Presiden melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang kemudian juga dipertegas oleh Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025, meminta pembatasan belanja yang bersifat seremonial, perjalanan dinas, kajian, studi banding, percetakan, publikasi dan seminar. Hasil pemangkasan belanja itu diakui akan direalokasikan untuk menambah anggaran bagi program-program prioritas Presiden, melaksanakan subsidi dan bantuan sosial, serta menjaga stabilitas APBN.

Potensi Merosotnya Kualitas Pelayanan Publik

Selain harus memangkas anggaran belanja operasional lembaga negara hampir Rp 256,1 triliun, aturan ini juga menyasar transfer ke daerah (TKD), sebesar lebih dari Rp 50,59 triliun. Terdapat enam pos TKD yang terdampak pemotongan, yaitu kurang bayar dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus fisik (DAK fisik), dana otonomi khusus (dana otsus), dana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, serta dana desa.

Alhasil, pemangkasan anggaran pos TKD ini berpengaruh langsung terhadap belanja esensial, seperti layanan dasar, urusan pangan dan infrastruktur. Pengurangan dana TKD juga menyebabkan berkurangnya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang selama ini berperan besar membangun infrastruktur daerah, layanan pendidikan maupun kesehatan. Tak hanya itu, komponen dana desa pun ikut menjadi sasaran.

Pada sektor pendidikan misalnya, pemangkasan anggaran pendidikan di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) sebesar Rp 8,01 triliun, jelas mengingkari mandatory spending pendidikan. Pemangkasan ini juga akan menganggu program-program pendidikan yang sudah dibuat, seperti Program Indonesia Pintar (PIP). Kebijakan ini justru akan memperparah keadaan di sektor pendidikan, khususnya bagi daerah terpencil dan terluar.

Selain itu, penerapan efisiensi ini juga berimbas ke sektor kesehatan, khususnya pada pengadaan obat dan vaksin bagi masyarakat. Kekhawatiran ini semakin jelas ketika anggaran belanja Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2025 dipotong menjadi Rp19,6 triliun dari total belanja Rp105,6 triliun. Efisiensi ini dikhawatirkan juga memperlemah pencapaian target eliminasi TBC pada 2030, yang telah menjadi komitmen pemerintah.

Hal yang tak kalah penting lainnya adalah soal kemampuan negara dalam memberikan jaminan keamanan dari bencana. Instansi vital seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Badan SAR Nasional (Basarnas) terkena dampak langsung, yang dapat melemahkan kapasitas deteksi, mitigasi, dan respons bencana. Padahal kemampuan dan infrastruktur alat pendeteksi dini bencana masih sangat dibutuhkan, terutama bagi masyarakat yang berada di daerah cincin api, kawasan pesisir dan kawasan lainnya yang memiliki risiko bencana.

Semakin Lemahnya Fungsi Pengawasan

Kebijakan ini pun turut berpengaruh terhadap efektivitas kinerja lembaga negara yang memiliki fungsi pengawasan pemerintah. Sebagai contoh, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang mempunyai fungsi utama untuk pengawasan pelayanan publik dan pencegahan maladministrasi ini harus menerima kenyataan bahwa anggaran lembaganya dipangkas hampir 50 persen. Efisiensi jelas akan mengganggu fungsi ORI sebagai penegak tata kelola pelayanan publik.

Permasalahan serupa juga harus dihadapi oleh Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia yang anggarannya dipangkas sekitar 54 persen. Faktor ini menjadi penghambat paling besar bagi KY untuk menjalankan fungsi utama dalam melaksanakan pengawasan kode etik dan perilaku hakim (KEPPH), pengelolaan laporan para pencari keadilan, hingga pelaksanaan proses seleksi Calon Hakim Agung. Situasi ini menjadi berdampak pula bagi operasional Badan Penghubung KY, yang semakin terbatas melakukan pemantauan persidangan dan menindaklanjuti pengaduan di daerah.

Di samping itu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga menjadi salah satu lembaga yang juga terdampak atas kebijakan ini. Mirisnya, salah satu program pengawasan pembangunan yang dilaksanakan oleh BPKP adalah pengawasan terhadap program prioritas Presiden Prabowo yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG). Pengawasan terhadap program MBG ini terancam tidak dapat dilaksanakan secara optimal mengingat anggarannya dipangkas sampai setengahnya menjadi Rp40 miliar.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tak luput terdampak dimana efisiensi anggaran mencapai Rp 201 miliar dari Rp. 1.237 triliun yang sebelumnya telah dianggarkan. Meskipun dikatakan hanya menyasar anggaran operasional, studi Anti-Corruption Agency Assessment (TII) justru melihat bahwa anggaran eksisting KPK saja masih jauh dari kebutuhan. Idealnya sebagai sebuah lembaga antikorupsi, KPK perlu diberikan dukungan anggaran 0,1% dari PDB, namun pada pelaksanaannya proporsi rata-rata anggaran KPK selalu kurang bahkan jauh dari 0,1%. Hal ini berpotensi mengganggu kinerja KPK baik dalam pencegahan maupun penindakan kasus korupsi. Pemangkasan ini oleh karenanya akan berdampak besar bagi agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi kedepan.

Presiden Harus Segera Evaluasi

Kebijakan efisiensi ini secara nyata mencerminkan rezim anggaran dan perencanaan Presiden Prabowo lebih mengedepankan program populis yang juga mengesampingkan tata kelola pemerintahan yang baik. Selain itu, kebijakan ini mencerminkan terus menguatnya perluasan kekuasaan eksekutif melalui sentralisasi kebijakan.

Oleh karena itu, TII merekomendasikan agar Presiden segera mengevaluasi ulang tata kelola dan pelaksanaan Inpres 1/2025 secara menyeluruh dengan mempertimbangkan:

  • Mengevaluasi realokasi komponen dana TKD. Pemangkasan anggaran belanja operasional, seperti perjalanan dinas, studi banding, atau alat peralatan kantor, memang perlu untuk dilakukan. Namun, pemangkasan anggaran TKD sangat dapat ditinjau ulang, karena berimplikasi panjang terhadap menurunnya kualitas layanan serta sarana dan prasarana publik. Sebagai contoh, DAK fisik yang dipangkas sekitar 50 persen akan berpengaruh langsung pada kemampuan anggaran daerah pada tahun 2025, karena daerah sangat mengandalkan DAK fisik untuk modal infrastruktur, seperti untuk proyek jembatan, sarana air, dan bangunan.
  • Mengedepankan kembali otonomi daerah. Pemerintah pusat tampak tidak transparan terhadap Pemerintah Daerah dalam kebijakan ini dengan minim atau tidak berdiskusi sama sekali dengan perwakilan pemerintah daerah sebelum mengambil keputusan memotong anggarannya. Padahal ada sejumlah daerah yang merupakan daerah otonomi baru yang anggarannya amat bergantung pada APBN atau TKD. DBH dan DAU pun yang sesungguhnya merupakan amanat otonomi daerah juga ikut dipangkas, padahal DBH digunakan untuk mendanai infrastruktur, dan DAU dialokasikan untuk gaji pegawai. Situasi ini selain akan membawa ekses buruk bagi para pemimpin daerah yang akan baru dilantik, jelas juga akan berdampak besar pada jalannya pemerintahan dan kualitas layanan.
  • Pelaksanaan efisiensi dilakukan melalui Revisi UU APBN 2025. DPR bersama Pemerintah sebelumnya telah mengesahkan UU 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025, yang memungkinkan terjadinya penyesuaian terhadap APBN, baik karena perubahan bertambahnya jumlah kementerian atau lembaga maupun dari sisi program. Namun kenyataannya, metode pemangkasan anggaran ini juga tidak merujuk pada siklus APBN perubahan tersebut. Padahal dalam praktiknya, proses penyusunan anggaran daerah baru akan mulai pada bulan Maret/April 2025 karena masih dalam periode transisi. Hal ini jelas akan berdampak pada minimnya ruang bagi pemerintah daerah untuk menjalankan programnya, dan semakin sempitnya juga partisipasi publik.
  • Perlunya pengawasan proaktif dari DPR dan DPRD. Di saat bersamaan, DPR tidak menjalankan fungsinya untuk memastikan persetujuan rakyat saat pemerintah memotong anggaran karena dampaknya sangat besar terhadap publik. Sebagai contoh, pemangkasan dilakukan juga untuk sektor pendidikan, padahal manfaatnya amat jelas bagi publik namun DPR tampak tidak melakukan deliberasi kritis terhadap keputusan ini. DPR dan DPRD sepatutnya menjalankan fungsi pengawasan secara ketat terutama dalam melihat perubahan postur anggaran yang juga terjadi.

 

 

 

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved