RUU Minerba Disahkan, Potensi Tinggi Korupsi dan Bukti Nyata Tamaknya Rezim

FOTO ILUSTRASI

Jakarta, 19 Februari 2025 – Dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-13 Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Transparency International Indonesia menilai proses pengesahan Revisi UU Minerba ini tidak partisipatif, berpotensi tinggi korupsi dan semakin menunjukkan watak pemerintah yang tamak.

Sejak awal revisi UU Minerba ini memang kado istimewa yang diberikan oleh rezim untuk pebisnis ekstraktif. Terlebih 60% anggota DPR terafiliasi oleh bisnis. Jadi, RUU Minerba ini adalah alat legitimasi yang digunakan untuk mengekspansi wilayah kekuasaan dan kekayaan para pebisnis dan pemerintah yang sudah semakin berkelindan. Konflik kepentingan inilah yang tidak juga dibenahi oleh rezim.

RUU Minerba yang telah disahkan ini sarat dengan patronase dan politik identitas. Poin krusial dari RUU Minerba ini salah satunya bagi-bagi jatah izin tambang selain untuk organisasi masyarakat keagamaan juga institusi pendidikan (universitas). Jika institusi pendidikan yang seharusnya menjadi agen reproduksi sosial budaya dengan menghasilkan manusia dan lingkungannya menerima Izin Usaha Pertambangan (IUP), maka netralitas institusi pendidikan dipertanyakan. Status akreditasi perguruan tinggi yang seharusnya ditujukan untuk menjamin mutu dan prinsip Tri Dharma universitas yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat tentunya tidak sesuai dijadikan sebagai salah satu kriteria dalam pemberian izin pertambangan untuk kepentingan perguruan tinggi.

Pola korupsi pembajakan negara dalam bentuk regulasi atau state capture corruption ini sudah sering kita temui. Tidak lepas dari ingatan bagaimana UU Cipta Kerja disahkan hanya untuk mengakomodir kepentingan pebisnis dan mengabaikan hak-hak masyarakat dan pekerja. Begitupun dengan RUU Minerba yang telah disahkan pada 18 Februari 2025 lalu, hanya membuka keran korupsi semakin besar dan memperluas aktor pemburu rente khususnya dalam sektor ekstraktif.

Sentralisasi perizinan tambang melalui UU No. 3 Tahun 2020 dan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 bertujuan menyederhanakan regulasi, namun justru meningkatkan risiko korupsi, lemahnya pengawasan, dan minimnya partisipasi publik. Kajian TI Indonesia (2023) dengan metode Mining Award Corruption Risk Assessment (MACRA) menunjukkan bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan risiko:

  1. Memperkuat konflik kepentingan; kasus korupsi di sektor pertambangan semakin sering melibatkan politisi dan korporasi yang terafiliasi dengan politisi, menandakan adanya konflik kepentingan yang signifikan,  misalnya minimnya transparansi dalam lelang Wilayah Usaha Pertambangan (WIUP) memungkinkan praktik penyalahgunaan wewenang, suap, dan pengaturan izin yang menguntungkan pihak tertentu secara tidak adil.
  2. Mempersempit ruang akuntabilitas melalui pelemahan partisipasi publik; publik hampir tidak memiliki ruang untuk menolak kebijakan pertambangan yang berpotensi merugikan lingkungan dan masyarakat. Penolakan terhadap proyek tambang kerap dianggap sebagai penghambat pembangunan dan dikriminalisasi menggunakan pasal pidana. Publik kehilangan hak untuk menolak proyek tambang yang merusak lingkungan, sementara aturan pelaksana yang belum jelas memperburuk ketidakpastian hukum.
  3. Membuka celah manipulasi izin tambang; ketidakjelasan prosedur perizinan tidak adanya aturan turunan yang spesifik menyebabkan ketidakpastian hukum, termasuk dalam waktu pemrosesan izin dan batasan kepemilikan izin. Kasus menunjukkan bahwa satu pemilik manfaat (beneficial owner) bisa mengendalikan tiga perusahaan dengan tiga IUP berbeda.
  4. Serta masih lemahnya pengawasan, kewajiban pengawasan berkala terhadap izin tambang tidak berjalan efektif karena belum adanya anggaran pengawasan dan peraturan pelaksana yang jelas.

Oleh sebab itu, TI Indonesia menyerukan kepada masyarakat, mahasiswa, dan pihak-pihak yang dirugikan dari pengesahan RUU Minerba untuk:

  1. Mendesak pemerintah dan kroni-kroninya mencabut Revisi UU Minerba karena berpotensi tinggi korupsi, memperkuat konsolidasi elit dan konflik kepentingan serta menihilkan partisipasi publik;
  2. Memperkuat simpul-simpul gerakan dan berseru kepada pemerintah untuk mencabut RUU Minerba karena tidak sesuai dengan tujuan Undang-Undang Dasar 1945 yang tertera dalam pasal 33 ayat 3, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemakmuran rakyat seharusnya menjadi tujuan;
  3. Menuntut pemerintah untuk transparan terkait penyusunan regulasi perizinan tambang dan memastikan akses publik terhadap dokumen perizinan dan kontrak pertambangan;

Narahubung:
Media TI Indonesia

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved