Danantara: Tanpa Partisipasi, Rawan Korupsi!

ILUSTRASI

Jakarta, 26 Februari 2025 – Presiden Prabowo Subianto telah meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara pada tanggal 24 Februari 2025 lalu. Pembentukan Danantara berdasarkan regulasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, yang merupakan hasil perubahan ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003 yang mengatur Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan adanya regulasi baru yang mengatur tentang BUMN ini, pemerintah mendorong adanya upaya konsolidasi dalam pengelolaan dua hal utama yakni dividen dan investasi yang akan menjadi tanggung jawab Danantara.

Secara regulasi, tugas dan fungsi dari Danantara adalah: (a) mengelola dividen dari berbagai holding investasi, operasional, dan BUMN; (b) menyetujui perubahan modal BUMN yang bersumber dari BUMN; (c) mengatur restrukturasi BUMN, termasuk merger, akuisisi, dan pemisahan usaha; (d) membentuk holding investasi, operasional, serta BUMN baru; (e) menyetujui penghapusan aset dalam tagihan BUMN; (f) berkonsultasi dengan DPR RI terkait rencana kerja dan anggaran  (RKA) holding investasi dan operasional. Selain sebagai pengelola investasi, Danantara juga akan menjadi badan yang bertanggung jawab pada penerimaan dividen secara langsung tanpa melalui Kementerian Keuangan.

Sebagai badan yang didorong sebagai pengelola modal terbesar di Indonesia, BPI Danantara diproyeksikan akan dapat mengelola aset hingga USD 900 miliar atau sekitar Rp 14,715 triliun. Namun, di awal operasinya, BPI Danantara akan mengelola dana sebesar Rp 300 triliun. Pada tahap ini, dana sebesar 300 triliun berasal dari hasil pemangkasan (efisiensi) anggaran beberapa lembaga pemerintahan, baik kementerian maupun pemerintah daerah, termasuk lembaga yang secara langsung bertanggung jawab pada layanan publik dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

Pembiayaan Danantara akan digunakan untuk menjalankan 20 Proyek Strategis Nasional di antaranya proyek yang berkaitan dengan hilirisasi tambang seperti: nikel, bauksit, tembaga, kilang minyak, petrokimia, serta proyek energi baru dan terbarukan. Selain proyek hilirisasi tambang, kucuran juga digunakan untuk pembangunan pusat data, pembangunan kecerdasan buatan, produksi pangan dan protein, serta akuakultur.

Secara struktur terdapat nama Joko Widodo, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Tony Blair sebagai Dewan Penasehat. Kemudian, Rosan Roeslani yang juga sebagai Menteri BKPM ditunjuk sebagai CEO. Didampingi Pandu Sjahrir, salah satu petinggi di PT Toba Bara dan Dony Oskaria yang juga sebagai Wakil Menteri BUMN sebagai Chief Investment Officer (CIO). Selain itu terdapat nama, Menteri BUMN Erick Thohir menjadi Ketua Dewan Pengawas. Ditambah pula terdapat nama Sri Mulyani yang juga sebagai Menteri Keuangan.

Munculnya nama-nama yang terpapar sebagai politically exposed person (PEPs) dalam struktur Danantara menjadi sebuah indikasi yang mengarah potensi konflik kepentingan. Di mana yang paling mencolok adalah munculnya nama-nama yang di satu sisi adalah bagian dari kabinet pemerintah sebagai regulator, juga merangkap sebagai eksekutor. Peran ganda ini tentu akan menimbulkan kegamangan bagi para investor mengenai keamanan dan keberlanjutan investasi serta manajemen risiko yang harus dihadapi.

Karena orientasi pembentukan Danantara ditujukan pada pengelolaan investasi yang besar, maka kerangka regulasi yang ada harusnya mencakup sampai dengan mekanisme pangawasan independen, pelibatan masyarakat secara partisipatif hingga penilaian dan manajemen risiko bagi perusahaan. Ketiga syarat ini harus ditempatkan apda regulasi yang mengikat dan ketat. Seperti pelibatan lembaga negara DPR dengan fungsi pengawasannya. Kemudian BPK dengan auditnya dan KPK dengan penegakan integritasnya. Selain itu jika berkaca dari Temasek di Singapura, bahwa Temasek diawasi oleh Parlemen dan diaudit oleh auditor independen yang secara kredibilitas sangat mumpuni di kancah internasional.

Belajar dari skandal 1MDB di Malaysia, bagi Danantara penting untuk membuat peta jalan pengelolaan investasi yang berisi tentang cetak biru bisnis proses, model investasi yang berkelanjutan, pencegahan dan pengawasan korupsi yang terkait dengan pengendalian konflik kepentingan, hingga penerapan business judgement rule (BJR) yang ketat. Dalam konteks Danantara, hal ini nampak dalam pasal di UU BUMN yang mengatur Menteri, Badan Pelaksana, dan pegawai BPI Danantara, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian yang ditimbulkan saat mengelola dana. Tentu pengaturan bertentangan dengan aturan antikorupsi bahwa setiap kekayaan negara (baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan) jika ditemukan indikasi kerugian negara maka sudah selayaknya harus bisa dipertanggungjawabkan.

Sejumlah skandal korupsi di BUMN yang masih terjadi bisa dilihat pada dua dimensi, yakni korupsi politik dan korupsi manajemen. Korupsi yang terjadi di BUMN marak terjadi karena ketiadaan usaha untuk mencegah korupsi politik terjadi, seperti pengaturan dan pengendalian konflik kepentingan, pelibatan masyarakat secara aktif partisipatif, independensi badan pengawas dan komisi antikorupsi.

Sementara untuk korupsi manajerial bisa dilihat dari ketiadaan dokumen cetak biru yang memuat bisnis proses yang bisa diakses oleh masyarakat juga menjadi salah satu celah terjadinya korupsi. Misalnya dalam cetak biru atau Rencana Kegiatan Anggaran (RKA), baik jangka menengah dan jangka panjang harus memuat orientasi keberlanjutan, bukan untuk profit semata, bahkan menyumbang pertumbuhan ekonomi. Kaidah-kaidah Environment, Social, Governance(ESG) perlu diformulasi dengan mempertimbangkan model investasi yang tidak hanya padat modal tapi memberikan kebermanfaatan bagi rakyat.

Pengelolaan Danantara yang beririsan dengan BUMN yang melakukan PSO perlu diatur dan mendapat perhatian serius. Semisal PLN yang mengelola PSO untuk ketenagalistrikan, saat terjadi kesalahan dalam orientasi bisnis dan pengelolaannya akan menimbulkan kerugian yang berakibat pada hilangnya aset negara.

Transparency International (TI) Indonesia menilai peluncuran Danantara sebagai sebuah peluang sekaligus tantangan. Namun jika Pemerintah dan Danantara tidak menyelesaikan problem mendasar seperti penegakan integritas dan pelibatan publik secara pro-aktif maka berpotensi terhadap buruknya tata kelola dan indikasi korupsi di masa mendatang. Investasi yang besar perlu diimbangi dengan standar nilai integritas yang tinggi. Prinsip transparansi dan akuntabilitas tidak bisa diabaikan. Karena prinsip ini adalah pondasi dalam membangun kepercayaan bagi iklim investasi yang berkelanjutan.

TI Indonesia juga mendesak agar para pejabat yang merangkap pada posisi strategis di Danantara untuk mundur. Sehingga bisa memilih untuk berkonsentrasi pada salah satu bidangnya. Desakan menteri dan wakil menteri untuk mundur bukan berarti meragukan kompetensi para pengurus Danantara. Namun, agar para pengurus di Danantara bisa lebih berkonsentrasi dalam mengelola investasi demi menghasilkan keuntungan yang berguna bagi kesejahteraan rakyat.

 

Narahubung:
Media TI Indonesia: +62 811-8869-711

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved