Berkaca dari pengalaman sejumlah negara, sangat sulit berharap penerapan amnesti untuk para koruptor dapat menjadi solusi bagi macetnya pemberantasan korupsi.
Selain kontraproduktif terhadap semangat antikorupsi yang selama ini dikampanyekan Presiden Prabowo Subianto, memberikan maaf kepada koruptor dengan syarat mengembalikan uang hasil korupsi ke negara juga hanya akan kian mendegradasi kepercayaan publik terhadap supremasi hukum.
Apabila dilanjutkan, pengampunan terpidana korupsi justru menjadi preseden buruk bagi pelaku korupsi di masa mendatang.
Meskipun juga tidak terlalu jelas bentuk permintaan maaf seperti apa yang mungkin akan diberikan, gagasan ini semakin menjauhkan Indonesia dari amanat Konvensi Antikorupsi PBB (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC).
Pasal 30 UNCAC dengan tegas menyerukan negara-negara pihak untuk menjatuhkan sanksi sesuai dengan derajat pelanggarannya, bukan sebaliknya dengan memberikan sejumlah keringanan, terlebih amnesti bagi pelaku korupsi.
Langkah ini jelas bagaikan dokter yang salah memberikan obat akibat gagal mendiagnosis masalah utamanya.
Penggunaan amnesti—baik dalam kasus kejahatan ekonomi maupun yang lebih lazim digunakan dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia (HAM)—merupakan tindakan yang sangat kontroversial secara politik karena membenturkan secara langsung prinsip-prinsip pertanggungjawaban dan akuntabilitas pidana.
Dengan membatalkan putusan pengadilan dan/atau menghentikan penyelidikan dan penuntutan, amnesti justru dapat melemahkan upaya untuk memberikan efek jera dan bahkan lebih jauh lagi seakan memberikan impunitas bagi mereka yang merenggut uang negara.
Kontroversi di sejumlah negara
Meski demikian, pendekatan amnesti untuk pidana korupsi pernah diterapkan di sejumlah negara dalam berbagai ragam.
Pada 2017, misalnya, Pemerintah Romania pernah mengajukan sebuah dekrit darurat untuk mendekriminalisasi kejahatan korupsi jika kerugian negaranya kurang dari 34.000 euro sebagai dalih dari solusi sesaknya penjara-penjara.
Salah satu penerima manfaat langsung dari dekrit tersebut yaitu Liviu Dragnea, pemimpin Partai Sosial Demokrat yang kala itu dituduh telah merugikan negara 24.000 euro. Dekrit itu pada akhirnya kemudian dicabut lantaran kuatnya desakan publik.
Di Tunisia, langkah kontroversial serupa pernah didorong oleh Presiden Zine Ben Ali pada 2017. UU amnesti koruptor yang diterbitkan memungkinkan pengampunan bagi para pejabat selama mereka tidak menggunakannya untuk kepentingan pribadi.
Selain sulit dicerna akal sehat karena minim akuntabilitas, legislasi tersebut juga sarat digunakan sebagai bentuk balas budi kepada para pemimpin bisnis yang mendukung kampanye partai penguasa sebelumnya.
Contoh lain juga jelas terekam ketika pada 2022 mantan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengobral pengampunan kepada para pemimpin bisnis atau chaebol, seperti bos perusahaan raksasa Samsung Electronics, Lee Jae-yong, yang menjadi terpidana korupsi, dengan dalih untuk membantu aktivitas ekonomi negaranya.
Di belahan dunia yang lebih dekat, mantan Presiden Filipina Joseph Estrada sebelumnya diperintahkan pengadilan untuk mengembalikan aset yang diperoleh secara tidak sah senilai 16,7 juta dollar AS pada 2007 karena ia terbukti menyalahgunakan uang negara.
Estrada mencabut banding dan sebagai gantinya meminta amnesti tak bersyarat (unconditional amnesties) kepada presiden selanjutnya, Gloria Macapagal Arroyo. Amnesti kepada Estrada secara kontroversial diberikan dan sontak menuai beragam kecaman karena ditengarai merupakan hasil kesepakatan politik dengan oposisi.
Sebelumnya, Filipina juga pernah menerapkan amnesti bersyarat dalam rangka mendukung proses litigasi pemulihan aset hasil korupsi mantan presiden yang lain, yakni Ferdinand Marcos.
Amnesti bukan solusi
Berkaca dari pengalaman sejumlah negara di atas, sangat sulit berharap penerapan amnesti untuk para koruptor dapat menjadi solusi bagi macetnya pemberantasan korupsi di Indonesia. Di sejumlah negara, dengan skor Indeks Persepsi Korupsi yang tinggi, selain terus memaksimalkan hukuman pidana badan, perampasan aset juga diatur secara lebih ketat.
Dari pola penerapannya di negara-negara lain, amnesti hanya digunakan sebagai pengecualian secara kasuistis dan hal ini pun lebih banyak dijalankan oleh negara-negara pasca-konflik berkepanjangan dengan mekanisme transitional justice dengan tujuan agar pemerintahan yang baru bisa berjalan mulus.
Kebijakan amnesti bagi koruptor juga jelas tidak menguntungkan Presiden Prabowo Subianto karena justru akan semakin menyuburkan budaya impunitas karena calon pelaku kejahatan mengetahui bahwa korupsi pada akhirnya akan diabaikan atau diampuni.
Pemberian amnesti atau beberapa bentuk keringanan terhadap koruptor—selain yang sudah diatur dalam UU saat ini—juga merupakan keputusan yang sangat sensitif sehingga rentan memicu penolakan publik yang besar.
Amnesti yang dinormakan secara terlalu luas atau berulang akan kian memperkuat sinyal impunitas karena berpotensi digunakan sebagai ”karpet merah” bagi para konglomerat korup serta pelaku kejahatan ekonomi dan pencucian uang.
Sebelum tergesa-gesa terjun ke pendekatan amnesti, langkah paling nyata yang semestinya dilakukan ialah memperkuat kembali independensi kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi serta segera mengamendemen Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang lebih komprehensif.
Tentu saja selain juga terus mengurai benang kusut korupsi dalam sistem politik dan pemilihan umum kita.
Alvin Nicola, Peneliti Transparency International Indonesia
Artikel ini telah terbit di Harian Kompas editisi 02 Januari 2025