
Pemberantasan korupsi membutuhkan ekosistem politik yang mendukung. KPK harus dilepaskan dari cengkeraman eksekutif.
Sikap permisif Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK terhadap merebaknya isu gratifikasi pesawat jet pribadi Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, mencerminkan telah paripurnanya penundukan lembaga antikorupsi itu oleh pengaruh kekuasaan eksekutif. Tindakan KPK yang tampak teramputasi keberaniannya ini jelas akan menjadi preseden buruk bagi peluang pengungkapan korupsi yang menyenggol elite politik di masa depan.
Tamparan keras ini sudah sepatutnya membangunkan para politisi dari tidur panjangnya, yang pada 2019 amat meyakini bahwa langkah amendemen tak akan sedikit pun menggores kualitas independensi KPK.
Faktanya, kekhawatiran akan melemahnya lembaga antirasuah saat ini telah menjadi nyata. Padahal, praktik korupsi yang beraroma politik sangat mendesak untuk diberantas karena bahayanya menjalar ke berbagai sendi bernegara dan menjadi penyebab Indonesia terus terjebak dalam 1/3 negara korup di dunia sesuai dengan rilis Indeks Persepsi Korupsi.
Kegelisahan di atas juga tergambar jelas dari temuan terbaru studi evaluatif Transparency International Indonesia yang menguji independensi KPK kurun waktu lima tahun terakhir. Hasilnya tak main-main: bandul independensi telah dan semakin bergeser jauh dari amanat reformasi sebagai ekses dari anjloknya indikator independensi sebanyak 55 persen dibandingkan sebelum revisi undang-undang.
Tak mengherankan, dengan modal relasi kuasa yang timpang ini, amat sulit membayangkan KPK mampu menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan elite politik yang tak lain adalah atasannya dalam struktur pemerintahan.
Cengkeraman eksekutif
Tentu saja keberadaan KPK, sebagaimana lembaga-lembaga antikorupsi lain di berbagai belahan dunia lain, tidak berada dalam ruang yang vakum dari kepentingan. Paling anyar, lembaga antikorupsi Korea Selatan, Anti-Corruption and Civil Rights Commission (ACRC), menutup kasus gratifikasi penerimaan tas tangan mewah dari seorang pendeta Korea-Amerika yang menyeret Ibu Negara Kim Keon-hee—yang tidak menghiraukan desakan luar biasa dari publik. Sejak awal perangai ACRC ini mirip KPK, yang cenderung melindungi Kim dari tuntutan hukum dengan dalih hak imunitas eksekutif.
Tak kalah berbeda juga di Zambia, ketika Anti-Corruption Commission (ACC) mulai aktif mengusut kotak pandora korupsi yang melibatkan partai penguasa, presidennya mengambil langkah eksekutif serampangan dengan langsung mencopot petinggi-petinggi lembaga antikorupsi itu.
Cerita-cerita nyata tunduknya independensi lembaga antikorupsi ketika berhadapan dengan kekuasaan eksekutif ini menggarisbawahi bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan ekosistem politik yang mendukung.
Barangkali di tengah keterbatasannya, KPK dapat mengamati sepak terjang Malaysian Anti-Corruption Commission (MACC). Dengan kelihaiannya dalam memanfaatkan momentum transisi politik dan derasnya dukungan publik, MACC mampu membuka celah pengusutan kasus penggelapan dana kekayaan milik negara Malaysia, 1Malaysia Development Berhad (1MDB), sehingga mantan Perdana Menteri Najib Razak berhasil diseret ke penjara pada 2022.
Oleh karena itu, agar roda pemberantasan korupsi kembali berputar, hampir tak ada jalan lain selain melepaskan cengkeraman eksekutif terhadap KPK. Artinya, seleksi pimpinan yang saat ini tengah berjalan menjadi momentum memilih sosok yang betul-betul menaruh komitmen memperjuangkan independensi dalam pemberantasan korupsi. Prasyarat ini mutlak diperlukan guna menghindari potensi penyalahgunaan KPK sebagai alat gebuk politik kekuasaan mendatang.
Selain itu, maju mundurnya KPK dalam mengusut isu yang berkaitan dengan elite politik ini juga menegaskan dibutuhkannya figur pimpinan yang memprioritaskan dan tidak menaruh kompromi terhadap pemberantasan korupsi di sektor politik, serta memahami terus berkembangnya pola dan modus korupsi sebagai sebuah kejahatan lintas negara dengan memiliki jaringan di tingkat regional dan internasional. Figur pimpinan ke depan juga diharapkan mampu menavigasi keterbatasan kelembagaan KPK yang executive heavy ini melalui penegakan integritas internal tanpa pandang bulu.
Alvin Nicola, Peneliti Transparency International Indonesia
Arikel ini telah terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2024