Politik Hukum Pemasyarakatan Koruptor

Hukum sukar sekali mengemban secara utuh nilai-nilai moral yang ada di masyarakat. Konsep korupsi yang begitu kaya tak dapat diwadahi oleh paham konvensional hukum. Definisi hukum terlalu sempit untuk memaknai korupsi.
Pembebasan bersyarat terhadap terpidana korupsi kembali menuai polemik. Ada 23 terpidana korupsi yang dinyatakan bebas bersyarat karena dinilai memenuhi ketentuan mengenai pemberian hak- hak bagi terpidana, khususnya terpidana korupsi.

Keputusan pemerintah melalui Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan tentu menjadi bagian dari politik hukum negara terhadap pemberantasan korupsi.

Pidato Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2022 sebetulnya menyinggung soal pemberantasan korupsi. Dalam pidato itu Presiden mengapresiasi upaya penindakan yang dilakukan penegak hukum terhadap kasus korupsi, seperti kasus Jiwasraya, ASABRI, dan Garuda Indonesia.

Presiden mengatakan, upaya itu berhasil menaikkan satu poin skor Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index/ CPI) Indonesia tahun 2021 menjadi 38. Klaim keberhasilan tentang penegakan hukum ini sebetulnya keliru dari sisi data. Sebab, jika diselisik lebih dalam, kenaikan itu justru disumbangkan oleh indikator pencegahan korupsi di sektor ekonomi.

Sementara itu, indikator penegakan hukum, seperti Rule of Law Index, mengalami stagnasi.

Indikator yang terkait korupsi politik dan demokrasi, seperti varieties of democracy, justru mengalami penurunan yang cukup tajam. Artinya, penegakan hukum dan korupsi politik masih menjadi beban dalam pemberantasan korupsi.

Kekuasaan kehakiman

Faktor penegakan hukum tentu erat kaitannya dengan kekuasaan kehakiman. Dalam konteks ini ada dua hal yang relevan dengan proses penegakan hukum terhadap koruptor, yakni penjatuhan pidana (vonis) terhadap koruptor dan putusan pengadilan terhadap pengujian regulasi.

Pertama, sudah jadi pemahaman umum, ada kecenderungan penjatuhan vonis yang rendah di berbagai tingkat pengadilan. Adakalanya suatu perkara diputus dengan pidana yang sangat berat pada tingkat pertama, tetapi pada tingkat banding dan kasasi justru dapat keringanan, bahkan dibebaskan. Putusan ini tentu juga berkaitan dengan kualitas penanganan perkara yang dilakukan penyidik dan penuntut umum.

Kedua, ada kecenderungan, pelemahan terhadap regulasi antikorupsi tidak dimulai dari proses politik, tetapi menggunakan kekuasaan kehakiman sebagai tameng dalam perubahan regulasi. Dalam praktiknya bisa dilihat dari berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan pengujian terhadap UU dan Mahkamah Agung (MA) dalam hal putusan pengujian peraturan di bawah UU.

“Faktor penegakan hukum tentu erat kaitannya dengan kekuasaan kehakiman”.

Dalam konteks pemberian remisi dan pembebasan bersyarat, Putusan MK dan MA itu adalah Putusan MK Nomor 41/PUU-XIX/2021 dan Putusan MA Nomor 28 P/HUM/2021. Kedua putusan ini menjadi landasan bagi koruptor dan pemerintah untuk mengubah pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.

Memaafkan koruptor

Putusan kedua lembaga ini sangat terkait satu dengan yang lain. Keterkaitan itu bisa dilihat secara jelas di dalam alasan dan pertimbangan hukum MK dan MA yang mengutip restorative justice sebagai konsep pemidanaan. Dalam konteks pengujian ini tentu saja yang dituju adalah konsep pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi.

Ada tiga kekeliruan besar kedua putusan itu ketika menggunakan keadilan restoratif jika dihubungkan dengan tindak pidana korupsi. Pertama, dari sisi moralitas, konsep ini tentu saja sangat tak layak digunakan sebab kejahatan korupsi bukanlah kejahatan biasa. Karena itu, bisa disebut tidak ada alasan moral yang bisa digunakan untuk menerapkan keadilan restoratif dalam tindak pidana korupsi.

Kedua, MK dan MA keliru jika menempatkan keadilan restoratif terhadap kejahatan yang sudah diputuskan oleh pengadilan. Sebab, secara konseptual, keadilan restoratif itu sendiri adalah sebagai alternatif penyelesaian kasus pidana dengan cara menghindari proses pemidanaan.

Artinya, ada kesepakatan untuk menyelesaikan masalah hukum pidana itu di luar proses pemidanaan sehingga jika dikaitkan dengan remisi dan pembebasan bersyarat sangat tidak tepat, sebab proses pemidanaan telah berjalan.

Ketiga, ini yang paling fatal. MA tidak konsisten dengan keputusannya sendiri. Ada surat keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tertanggal 22 Desember 2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum.

Dalam pedoman itu sangat jelas disebutkan, keadilan restoratif hanya ditujukan terhadap perkara tindak pidana ringan, perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, perkara anak, dan perkara narkotika (korban/pengguna).

“Hukum sukar sekali mengemban secara utuh nilai-nilai moral yang ada di masyarakat”.

Hal ini memperlihatkan bahwa politik hukum yang diterapkan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi didesain sebagai tindak pidana biasa, seperti halnya pencurian. Hal ini dimulai dengan menempatkan ide keadilan restoratif sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana korupsi hingga kemudahan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada koruptor sebagaimana halnya tindak pidana biasa lainnya.

Mungkin di sinilah letak kelemahan hukum dalam memaknai konsep korupsi. Laura Underkuffler (2013), sebagaimana dikutip B Herry Priyono, mengungkapkan, konsep korupsi yang begitu kaya tak dapat diwadahi oleh paham konvensional hukum. Hukum sukar sekali mengemban secara utuh nilai-nilai moral yang ada di masyarakat. Karena itu, definisi hukum terlalu sempit untuk menampung makna dari korupsi.

Presiden tentu perlu meninjau kembali sejauh mana instrumen dan regulasi antikorupsi mampu menjawab tantangan pemberantasan korupsi yang menghadapi banyak hambatan dan tantangan, baik yang politis maupun hukum.

Reza Syawawi, Peneliti di Transparency International Indonesia)
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO

Tulisan ini telah diterbitkan di harian Kompas edisi 17 September 2022
Sumber: Kompas.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *