Kabut akan semakin pekat menyelimuti seleksi pimpinan KPK manakala berhadapan dengan proses politik di DPR.
Kabut sedang turun membayangi seleksi anggota/pimpinan lembaga negara independen, penyebab utamanya karena prosesnya diliputi kooptasi politik yang berlebihan. Kondisi ini pada satu sisi berpotensi menjadi ancaman terhadap independensi atau kemandirian lembaga negara sekaligus akan menggerus kepercayaan publik.
Kondisi ini dapat disaksikan kasat mata di berbagai proses seleksi, sebut saja seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan latar belakang partai politik. Dari lima anggota BPK yang disetujui DPR dalam Rapat Paripurna 10 September 2024, ada dua yang berasal dari partai politik, yakni Bobby Adhityo Rizaldi (Partai Golkar) dan Fathan Subchi (PKB).
Hal ini tentu sangat kontras dengan problem korupsi yang melibatkan anggota BPK dengan latar belakang politik tertentu. Tak berhenti sampai di situ, intervensi politik ini juga semakin merambah ke institusi kehakiman sebagaimana yang sedang terjadi dalam proses seleksi hakim agung.
Senada dengan itu, institusi penegak hukum juga mengalami proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akan menemui tantangan yang lebih berat. Seleksi kali ini dihadapkan kepada dua kondisi yang membuat KPK semakin rentan.
Pertama, proses pemilihan pimpinan dan dewan pengawas (dewas) dilakukan pada masa transisi politik. Kedua, pimpinan dan Dewas KPK nanti akan tetap bekerja di bawah rezim hukum anti korupsi yang lemah, yakni Undang-Undang KPK hasil revisi.

Transisi politik
Joko Widodo merupakan satu-satunya presiden yang melakukan seleksi pimpinan KPK sebanyak tiga kali dalam dua periode masa jabatannya melalui pembentukan panitia seleksi (pansel). Dimulai pada periode KPK 2015-2019 yang dikenal dengan julukan pansel ”srikandi” karena semua anggota pansel diisi oleh perempuan. Kemudian Pansel KPK periode 2019-2024 yang menghasilkan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Terakhir, Pansel KPK 2024-2029.
Jika diamati lebih dalam, proses transisi politik sangat memengaruhi posisi politik pemerintah terhadap KPK. Pada periode 2015-2019, proses seleksi KPK dilakukan tepat di tahun pertama Jokowi berkuasa.
Pada masa itu Jokowi diklaim sebagai sosok antikorupsi, setidaknya lebih baik dibandingkan dengan rival politiknya saat itu. Sekalipun diwarnai kontroversial, hasil seleksi saat itu menghasilkan pimpinan KPK yang cukup mumpuni. Pada pengujung jabatan inilah pimpinan KPK saat itu (2019) secara terbuka menolak revisi UU KPK.
Joko Widodo merupakan satu-satunya presiden yang melakukan seleksi pimpinan KPK sebanyak tiga kali dalam dua periode masa jabatannya.
Pasca-Pemilu 2019 kembali mengukuhkan kekuasaan Jokowi pada periode kedua. Keterpilihan Jokowi di periode kedua ini dimanfaatkan sebagai momentum untuk menundukkan KPK melalui revisi UU KPK dan memilih pimpinan KPK dengan integritas yang buruk.
Satu bulan setelah keterpilihannya pada periode kedua, pada Mei 2019, Jokowi membentuk pansel pimpinan KPK periode 2019-2024 yang menghasilkan Firli Bahuri cs. Buruknya hasil proses seleksi tersebut dibuktikan dengan keterlibatan pimpinan KPK dalam berbagai pelanggaran hukum dan etik, mulai dari penerimaan gratifikasi (Lili Pintauli Siregar), dugaan kasus korupsi dan pemerasan (Firli Bahuri), dan pelanggaran etik (Nurul Ghufron).
Jika dicermati, konstelasi politik penundukan KPK ini selalu beririsan dengan perolehan skor Corruption Perception Index (CPI) Indonesia, di mana pada periode pertama Jokowi ada kecenderungan skor CPI naik walaupun kenaikannya tipis. Sebaliknya pada periode kedua pemerintahan Jokowi, skor CPI Indonesia menurun begitu tajam.
Pada pengujung jabatannya di periode kedua ini, Jokowi kembali membentuk pansel untuk memilih pimpinan dan dewan pengawas KPK periode 2024-2029. Pemilihan kali ini sebetulnya cukup dramatis sebab dilakukan di tengah memburuknya situasi pemberantasan korupsi dan menjelang proses peralihan kekuasaan.
Proses seleksi kali ini seharusnya menjadi ”penebus dosa” Jokowi untuk memilih pimpinan KPK dengan integritas tinggi. Tantangan pemberantasan korupsi yang semakin kompleks seyogianya menjadi pemacu bagi pansel untuk memilih calon yang mampu mempertahankan integritasnya di tengah situasi politik pemberantasan korupsi yang buruk.
Di bawah hukum yang lemah
Di bawah rezim politik yang baru, pimpinan dan Dewas KPK periode 2024-2029 sudah dipastikan akan bekerja dengan UU KPK hasil revisi. Produk hukum yang disinyalir sebagai penyebab utama memburuknya kinerja institusi KPK dan pemberantasan korupsi secara umum.
Agak sulit berharap transisi politik ini akan secepatnya merespons kebutuhan untuk mengembalikan independensi KPK melalui perubahan UU. Apalagi jika dikaitkan dengan visi-misi Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tidak secara spesifik menyinggung soal penguatan kembali KPK. Di dalam visi-misi tersebut hanya menyinggung dua hal terkait KPK, yakni menjadikan KPK sebagai center of excellence dalam pencegahan korupsi dan menjamin tak akan mengintervensi KPK.
Proses seleksi pimpinan dan Dewas KPK yang sedang berjalan berhadapan dengan hukum yang lemah dan minimnya komitmen politik antikorupsi. Transisi politik dari Jokowi kepada Prabowo yang sedang berjalan seharusnya tak hanya sebatas peralihan kekuasaan semata, tetapi lebih jauh dari itu bagaimana memitigasi lemahnya regulasi antikorupsi dengan memilih pimpinan KPK yang berintegritas.
Namun, jika melihat hasil sementara Pansel KPK yang telah menghasilkan 20 calon pimpinan KPK dan 20 calon Dewas KPK, Rabu (11/9/2024), agaknya sulit berharap akan ada keputusan politik yang berpihak pada penguatan KPK. Hal ini dilihat dari komposisi calon yang didominasi oleh aparat penegak hukum di luar KPK yang pada periode sebelumnya menimbulkan persoalan serius bagi independensi KPK.
Tampaknya kabut akan semakin pekat menyelimuti seleksi pimpinan KPK manakala berhadapan dengan proses politik (fit and proper test) yang akan dilakukan anggota DPR periode 2024-2029.
Reza Syawawi, Peneliti di Transparency International Indonesia
Tulisan ini telah di terbit di harian Kompas Edisi 23 September 2024