Menyingkap Kekayaan Gelap Pejabat

Sebagai instrumen pelacakan, LHKPN belum mampu menelusuri kekayaan tertentu yang tak dilaporkan, apalagi aset dan liabilitas lain yang disamarkan. Perlu terobosan hukum dengan mengatur delik illicit enrichment dalam UU.

Bau tak sedap tumpukan harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo sesungguhnya telah menyengat tajam sejak 2012.

Kala itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah meneruskan sinyal kuat pencucian uang ke aparat penegak hukum serta Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan sebagai pengawas internal. Sayangnya, langkah korektif baru diambil lebih dari satu dekade kemudian setelah namanya ramai di media sosial.

Lemahnya jerat terhadap kebolongan hukum ini secara faktual merupakan buah dari nihilnya instrumen yang mampu mendeteksi dan menegakkan hukum terhadap kepemilikan harta kekayaan yang tak wajar.

Lembaga penegak hukum gagap merespons secara sistematis temuan janggal transaksi Rafael. Diskoneksi dalam koordinasi pengawasan terhadap asal-usul aliran harta kekayaan Rafael juga tergambar jelas ketika hasil pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN)-nya tahun 2012-2019 bak dianggap angin lalu dan cenderung disikapi reaktif oleh pemeriksa internal di lingkungan Kemenkeu.

Pengayaan gelap

Instrumen kebijakan kriminal yang eksisting berlaku saat ini nyatanya amat terbatas dalam mendukung proses penelusuran dan pelacakan aset terduga pelaku kejahatan, terutama tindak pidana korupsi.

UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Tindak Pidana Korupsi nyatanya masih menyimpan kompleksitas dalam proses pembuktian, seperti masih harus dibuktikannya upaya menyembunyikan asal-usul kekayaan. Sayangnya, hukum Indonesia belum mengenal pengaturan tentang pengayaan gelap (illicit enrichment) sebagaimana mandat Pasal 20 Konvensi Anti-Korupsi (UNCAC).

Meski diatur sebagai non- mandatory offences, keberadaan instrumen hukum yang mampu merespons pelanggaran berupa peningkatan atau kepemilikan harta kekayaan dari seseorang yang tidak dapat dijelaskan hubungannya dengan sumber pendapatan yang sah secara hukum, bisa jadi pintu masuk penelusuran pencucian uang.

Pelaporan harta kekayaan melalui instrumen LHKPN yang berkaitan erat dengan pengayaan gelap, tak mampu merespons perkembangan terkini. Seperti diberitakan, walaupun Rafael telah melaporkan LHKPN, berbagai kendaraan mewah miliknya belum tercatat.

Koalisi Kawal Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi akan segera melayangkan surat terbuka kepada Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Presiden Joko Widodo sebagai masukan yang menegaskan bahwa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) penting dijadikan syarat menilai integritas Capim KPK, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Koalisi Kawal Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi akan segera melayangkan surat terbuka kepada Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Presiden Joko Widodo sebagai masukan yang menegaskan bahwa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) penting dijadikan syarat menilai integritas Capim KPK, Jakarta, Selasa (6/8/2019). SHARON PATRICIA

Artinya, sebagai sebuah instrumen pelacakan, LHKPN belum mumpuni menelusuri kekayaan tertentu yang tak dilaporkan, apalagi aset dan liabilitas lain yang disamarkan dengan menggunakan skema nominee dan/atau transaksi melalui korporasi bodong untuk menutupi aliran sumber dananya dalam berbagai kasus lain.

Saat ini banyak negara di dunia sudah mengatur delik ini secara khusus karena modus dan medium tindak pidana korupsi dan pencucian uang kian canggih. Banyak negara bahkan telah memperluas spektrum pengaturannya di luar pakem tradisional Pasal 20 UNCAC, yakni tak selalu harus berupa peningkatan kekayaan yang memiliki unsur “disengaja”, “signifikan”, atau hanya dapat dilakukan oleh “pejabat publik”.

Definisi dan batasan mengenai harta kekayaan itu sendiri pun menyesuaikan dengan kebutuhan, selama tetap mengatur periode waktu peningkatan kekayaan yang signifikan itu, baik sebelum, selama maupun setelah menjabat. Pendekatan ini memungkinkan ruang interpretasi yang luas ketika mengukur total kekayaan seseorang.

Beberapa negara mengambil pendekatan illicit enrichment, yang cenderung di bawah skema pidana menargetkan harta kekayaan aktual yang telah diperoleh atau dikendalikan oleh seseorang seperti tertuang di UU Antikorupsi Bangladesh.

Sementara, mayoritas negara lain memberlakukan kategori kekayaan yang jauh lebih luas dengan konsepsi unexplained wealth. Artinya, yang diatur bukan hanya terkait harta kekayaan dibawah kendali seseorang, namun juga mempertimbangkan apakah seseorang itu telah mendapat manfaat atau tidak, yang mungkin berkontribusi terhadap “gaya hidup” atau “standar hidup” dirinya, seperti yang terlihat dalam legislasi Hong Kong atau Pakistan.

Saat ini banyak negara di dunia sudah mengatur delik ini secara khusus karena modus dan medium tindak pidana korupsi dan pencucian uang kian canggih.

Peluang pengaturan

Di Indonesia, sepertinya dibutuhkan pengaturan pidana illicit enrichment di UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Tipikor agar tetap menjamin efek jera di satu sisi, serta perluasan pengaturan menggunakan konsep unexplained wealth sebagai basis di dalam RUU Perampasan Aset di sisi yang lain. Kombinasi norma ini bisa saling mengisi kekurangan dalam mendukung rezim anti pencucian uang di Indonesia.

Selain itu, adopsi unexplained wealth dalam rezim perampasan aset juga mendesak karena subyeknya adalah setiap orang, dan tak hanya terbatas pada pejabat atau pegawai publik. Perluasan tafsir ini juga akan mampu menjerat mereka yang berasal dari sektor swasta seperti pemilik manfaat dari korporasi yang selama ini juga banyak menikmati kekayaan dengan cara-cara ilegal.

Perampasan aset berbasis unexplained wealth juga akan menyentuh entitas Politically-exposed Person(s) (PEPs). Kedudukan PEPs sebagai fokus utama amat krusial karena mayoritas perkara korupsi melibatkan mulai dari pejabat publik, fungsionaris partai, keluarga dan kerabat serta rekan bisnis PEPs, hingga mantan PEPs. PPATK bahkan merilis ada triliunan rupiah ‘dana kotor’ yang mengalir sebagai modal pemilu.

Pada realitasnya, model perampasan aset yang tradisional cenderung belum mampu menjawab hambatan dalam proses pidana, terutama dalam hal ketidakcukupan alat bukti, meski telah memenuhi kriteria illicit enrichment seperti halnya temuan rekening gendut pejabat kepolisian di waktu silam. Terobosan hukum berupa mekanisme pembalikan beban pembuktian pada pihak termohon dalam pendekatan unexplained wealth dapat membantu memudahkan proses pembuktian.

Jika pendekatan ini diadopsi, beban pembuktian beralih pada termohon atau tergugat untuk dapat menjustifikasi asal-usul harta kekayaannya.

Di titik itulah, penting untuk segera mengevaluasi sistem pengawasan profil pejabat publik, yang diikuti perbaikan mekanisme audit kewajaran harta kekayaan di dalam instrumen LHKPN. Secara gradual, ada baiknya segera mengatur delik illicit enrichment di dalam UU Tipikor, dan penguatan perampasan aset, yang diatur secara bersama lewat instrumen Unexplained Wealth Order (UWO).

Layaknya pelaksanaan UWO dalam instrumen Proceeds of Crime Act di Inggris, manifestasi UWO dapat berwujud surat perintah pengadilan untuk merampas langsung harta kekayaan yang telah dibekukan, atau pengadilan bisa menjatuhkan perintah terhadap pemohon untuk membayar sejumlah uang yang jumlahnya sama dengan harta kekayaan yang tak bisa dijelaskan oleh termohon.

Jika segera diatur, bukan tak mungkin instrumen-instrumen ini akan amat mendukung semangat pemulihan aset. Perumusan norma yang lebih luas akan memungkinkan pemberantasan korupsi tak hanya berkutat pada pelaku, namun juga mengembalikan aset yang dirampas, dan meningkatkan harmonisasi di antara penegak hukum, Ditjen Pajak, PPATK, dan lembaga pengawas internal.

Alvin Nicola Peneliti Transparency International Indonesia
Artikel ini telah ditayangkan di harian Kompas edisi 9 Maret 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *