JAKARTA, KOMPAS — Mulusnya korupsi di perusahaan-perusahaan badan usaha milik negara tak hanya terjadi akibat pemufakatan jahat yang terbangun lewat kolusi, tetapi juga karena adanya kick-back dan juga suap/hadiah atau gratifikasi yang menjadi pelumas untuk melancarkannya.
Hal tersebut ditemukan setidaknya pada pengelolaan dana investasi dan juga pada pengadaan barang dan jasa. Serangkaian aturan antigratifikasi pun diabaikan.
Pola seperti ini, menurut sejumlah pengamat, sudah umum terjadi di perusahaan-perusahaan BUMN. Namun, praktik curang di perusahaan pelat merah ini diperkirakan akan semakin sulit diungkap dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 19/2003 tentang BUMN.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2025/07/20/03b75b91-073e-4839-bd0a-f0dd45c1a802_png.png)
Gratifikasi atau suap, menurut Asri Widayati, peneliti Transparency International Indonesia (TII), ditemukan di banyak kasus korupsi yang melibatkan direksi, seperti halnya pada korupsi untuk pengadaan barang dan jasa. ”Ada proses suap di sana sehingga pengadaan itu bisa lancar,” ucapnya lewat keterangan tertulis, Sabtu (19/7/2025).
Pada korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara hingga Rp 16,8 triliun, sebagai contoh, ditemukan sebagian dari jajaran direksi melakukan pemufakatan jahat dengan pihak swasta.
Dalam hal ini, berkisar 2008-2018, kalangan direksi PT Asuransi Jiwasraya yang terdiri atas Hendrisman Rahim, Hary Prasetyo, dan Syahmirwan melakukan pemufakatan jahat lewat pembelian saham dan pengelolaan investasi yang menyimpang dengan pihak swasta yang terdiri atas Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro, dan Joko Hartono Tirto.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2021/08/25/20210826-H01-KID-Jiwasraya-mumed_1629909231.gif)
Untuk pembelian saham dan pengelolaan investasi itu, Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro memperoleh imbalan. Heru memperoleh Rp 4,6 triliun melalui Joko Hartono Tirto sebagai imbalan untuk pengelolaan transaksi pembelian saham, ditambah Rp 6,07 triliun untuk pengelolaan 21 reksa dana pada 13 manajer investasi. Sementara itu, Benny Tjokrosaputro menerima Rp 6,07 triliun untuk pengelolaan 21 reksa dana pada 13 manajer investasi.
Hendrisman Rahim selaku Direktur Utama Asuransi Jiwasraya menerima uang dan saham Rp 5,5 miliar, plus tiket perjalanan bersama istri ke London. Demikian pula Hary Prasetyo memperoleh uang Rp 2,4 miliar dan berbagai hadiah seperti mobil Toyota Harrier (Rp 550 juta), mobil Mercedes-Benz (Rp 950 juta), tiket perjalanan ke London bersama istri, fasilitas nonton konser Coldplay di Australia (Rp 65,8 juta), dan lebih dari lima hadiah lainnya.
Sementara itu, Syahmirwan menerima uang dan saham sebesar Rp 4,8 miliar, fasilitas main golf di Bangkok (Thailand) senilai Rp 100 juta, dan sejumlah fasilitas lainnya.
Demikian pula pada korupsi pengadaan pesawat Sub-100 Seaters (CRJ-1000) dan Turbo Propeller (ATR 72-600) di PT Garuda Indonesia pada 2011 yang merugikan keuangan negara Rp 9,3 triliun. Dalam kasus ini ditemukan pemberian kick-back atau imbalan dari pihak swasta yang terlibat dalam pengadaan ini, yakni Soetikno Soedarjo, kepada Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan sejumlah jajaran manajer Garuda Indonesia.
Imbalan yang diberikan Soetikno Soedarjo kepada Emirsyah Satar, contohnya, berupa uang 1.020.975 euro, 200.000 dollar AS, dan 1.181.761 dollar Singapura.
:quality(80)/https://cdn-dam.kompas.id/images/2025/07/20/651fc323a9bc80646366198d1dbfdcc4-Asri_Widayati.jpg)
Modus korupsi di BUMN yang paling mutakhir, menurut Asri, adalah anak perusahaan yang dijadikan tumpuan untuk penggelembungan (mark up) harga. Hal itu ditemukan pada korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023, yakni mark up harga minyak, dan menerima pembeli tetapi dari pembeli fiktif.
Modus lainnya adalah membuat layer berlapis dengan menutupi pemilik manfaat utama. Kalau dalam pelacakan yang biasanya dilakukan TII adalah mencari beneficial ownership. Kadang kala perusahaan membuat vendor atau perusahaan boneka secara berlapis agar penerima manfaat utama tidak terdeteksi ataupun agar audit sulit dilakukan.
Ahli hukum administrasi negara Riawan Tjandra juga mengungkapkan, kick-back dan suap itu dapat ditemukan di banyak kasus korupsi yang melibatkan perusahaan, termasuk BUMN. Pola-polanya masih relatif sama. ”Kemudian, juga keuntungan-keuntungan yang terselubung yang didapat melalui mekanisme pengadaan,” ucapnya.
Selama ini, lanjutnya, pemufakatan jahat di BUMN relatif bisa terungkap dan dikendalikan karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ataupun Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dapat masuk ke dalamnya untuk mengaudit. Namun, lanjutnya, dengan berlakunya UU BUMN yang baru, pintu bagi BPK ataupun BPKP untuk mengawasi keuangan perusahaan BUMN itu sudah tertutup.
Riawan mengatakan, sekalipun kerugian negara yang ditimbulkan dari sejumlah kasus korupsi belakangan ini terus bertambah besar, seperti halnya korupsi PT Asuransi Jiwasraya dan PT Asabri yang masing-masing merugikan keuangan negara Rp 16,8 triliun dan Rp 22,7 trilian, maka yang harus diperbaiki adalah efektivitas BPK dan BPKP dalam melakukan pengawasan.
”Kalau tidak ada (akses untuk mengawasi seperti diatur dalam UU BUMN baru) lebih parah lagi. Tidak terungkap malahan,” ucapnya.
Contoh PT KAI
Jika ingin meningkatkan kinerja BUMN, menurut Riawan, sudah ada contoh sukses di depan mata, yakni perbaikan tata kelola di PT Kereta Api Indonesia saat dipimpin oleh Ignasius Jonan.
Celios, dalam laporan bertajuk ”Permasalahan dan Risiko Hukum pada Regulasi Pembentukan Danantara 2025”, pun merekomendasikan agar pemerintah membentuk komite pengawasan yang kuat untuk mengawasi kerja BUMN dan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara selaku pengelola BUMN. Hal itu lebih baik dilakukan alih-alih menutup pintu bagi pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan BUMN.
Muhamad Saleh dari Celios, selaku penulis laporan tersebut, mengatakan, komite pengawas itu harus independen dan memiliki parameter yang jelas terkait komposisi seperti melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan profesional independen, kewenangan yang luas dalam pengawasan, serta tugas dan fungsi pengawasan yang transparan dan mengikat. Presiden juga diminta tidak boleh memiliki kewenangan untuk sewaktu-waktu membentuk atau membubarkannya.
”Komite pengawas wajib melaporkan hasil pengawasannya secara berkala dan transparan kepada publik,” ujar Saleh.
Sumber: KOMPAS ID