
Uang bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya butuh uang. Demikian juga dalam dunia politik Indonesia, ketersediaan dana sering menjadi tantangan besar, terutama bagi kandidat perempuan yang bukan berasal dari jejaring oligarki atau mempunyai privilese kekerabatan. Menolak menyerah, kandidat perempuan mengandalkan ”pendanaan gotong royong” saat menghadapi politik elektoral daerah.
Tantangan menghadapi politik elektoral, misalnya, dirasakan oleh kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luluk Nur Hamidah. Dalam Pilkada 2024, ia maju sebagai calon gubernur Jawa Timur, berpasangan dengan Lukmanul Khakim.
Berbeda dengan kandidat laki-laki yang cenderung lebih mudah mendapatkan sponsor, menurut Luluk, kandidat perempuan sering dihadapkan pada stigma dan keterbatasan akses ke jaringan pendanaan politik. Kalaupun ada pihak swasta yang mau membiayai politik elektoral, biasanya dukungan deras mengalir ke petahana.
Selain itu, dalam kasusnya, waktu persiapan menuju pemilihan yang relatif pendek juga menjadi kendala. Selama menjalani tahapan pilkada tidak ada sepeser pun donasi yang langsung masuk ke rekening Luluk kecuali dari suaminya.
”Saya penasaran siapa yang donasi. Saya punya rekening, tapi tidak ada yang memberikan sumbangan, kecuali suami saya sendiri,” kata Luluk dalam diskusi publik ”Daya Kandidat Perempuan di Pilkada Provinsi 2024” yang diselenggarakan oleh Transparency Internasional Indonesia, Rabu (13/3/2025).
Luluk diumumkan sebagai kandidat gubernur Jawa Timur yang diusung oleh PKB menjelang hari terakhir pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pilkada 2024. Sebelumnya, nama Luluk tak pernah terdengar dalam bursa pencalonan di Jatim. Oleh karena itu, begitu namanya mencuat dua bulan menjelang pencoblosan, Luluk langsung disibukkan dengan sejumlah kegiatan. Dari menyusun program, bertemu sukarelawan dan tim sukses, serta menjalani masa sosialisasi dan kampanye.
Kegiatan-kegiatan itu, selain menyita pikiran, juga menyita waktu, tenaga, dan biaya tak sedikit. ”Saya sadar dengan situasi. Begitu diumumkan jadi calon, saya fokus memastikan bagaimana kehadiran saya bisa bermakna. Saya fokus membuat program untuk memajukan Jatim sehingga tak sempat mencari dana,” katanya.
Tantangan luar biasa yang dihadapi perempuan dalam pemilihan kepala daerah juga pernah disampaikan Wakil Ketua Umum Golkar Nurul Arifin, beberapa waktu lalu. Berkaca dari pengalamannya maju sebagai Wali Kota Bandung pada 2018, Nurul mengakui, sistem pilkada sangat menantang bagi perempuan, mulai tahapan pencalonan hingga pemilihan.
”Untuk mendapatkan surat keputusan (SK) dari partai, itu perjuangan luar biasa. Sudah lolos SK, perjuangan selanjutnya juga besar. Calon kepala daerah harus bisa mengorkestrasi kekuatan partai. Kalau enggak ada modal, bagaimana caranya?” kata Nurul.
Ketimpangan sumbangan
Pengalaman Luluk dan Nurul senada dengan penelitian Transparency Internasional Indonesia (TII) yang menyatakan bahwa ada ketimpangan sumbangan untuk pasangan calon kepala daerah laki-laki dengan pasangan calon yang melibatkan perempuan, baik sebagai calon gubernur maupun wakil gubernur di Pilkada 2024.
Berdasarkan penelitian TII, pasangan calon laki-laki cukup dominan mengandalkan sumbangan dari kantong pribadi. Sementara pasangan calon yang melibatkan perempuan, baik sebagai kepala daerah maupun wakil kepala daerah, lebih banyak menerima sumbangan dari eksternal, seperti partai politik, perseorangan, ataupun pihak swasta.
Namun, besaran sumbangan dari semua sumber dana selalu lebih besar untuk pasangan calon laki-laki. Perbedaan ekstrem terlihat pada sumbangan dari partai politik (parpol). Rata-rata kandidat laki-laki menerima sumbangan Rp 4,7 miliar dari parpol, sementara kandidat yang melibatkan perempuan menerima hanya sepertiga dari jumlah yang didapatkan laki-laki, atau sekitar Rp 1,3 miliar.
”Ini mengindikasikan adanya favoritisme elite partai politik dan bohir politik terhadap pasangan calon kepala daerah laki-laki,” kata peneliti TII Sahel Muzzammil. Hadir pula dalam diskusi Kepala Prodi S-3 Ilmu Politik di Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Amalinda Savirani, dan pengajar Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini.

Di tengah keterbatasan dukungan anggaran, kandidat perempuan tidak menyerah. Mereka tetap maju dalam pemilihan. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat tujuh srikandi yang berjuang dalam pemilihan di lima provinsi. Sementara itu, 11 perempuan calon wakil gubernur terdapat di 10 provinsi. Mereka bersaing di antara total 103 pasangan calon yang ditetapkan KPU dalam Pilkada 2024.
Dana gotong royong
Luluk juga mengandalkan pendanaan yang bersumber dari gotong royong internal partai di tengah keterbatasan anggaran. Dalam struktur PKB terdapat mekanisme kolektif di mana fraksi-fraksi partai di tingkat nasional hingga daerah turut menyumbang tenaga, waktu, dan sebagian dana mereka untuk mendukung kandidat. Bahkan, sebagian anggota DPR dan DPRD menggunakan masa reses untuk menyosialisasikan kandidat di daerah-daerah, yang secara tidak langsung membantu Luluk.
Para kader PKB juga mendapatkan tugas spesifik, seperti membantu logistik kampanye atau memfasilitasi pertemuan dengan pemilih di daerah tertentu. Selain itu, Luluk juga mengantongi dukungan non-materi dari luar parpol. Misalnya, ia mendapat dukungan data dan kajian dari banyak akademisi dan peneliti untuk mempertajam visi dan misinya. Bagi Luluk, bentuk dukungan ini menjadi tak ternilai harganya.
Rata-rata kandidat laki-laki menerima sumbangan Rp 4,7 miliar dari parpol, sementara kandidat yang melibatkan perempuan menerima hanya sepertiga dari jumlah yang didapatkan laki-laki, atau sekitar Rp 1,3 miliar.
Menurut Amalinda Savirani, dukungan bagi perempuan dalam pemilihan tidak hanya dapat diukur dari jumlah uang, tetapi juga modal sosial. ”Dukungan gotong royong yang dirasakan Mbak Luluk tidak bisa dinilai hanya dengan angka. Kelemahannya, kita belum punya alat ukur yang mendeteksi seberapa besar dukungan bagi para kandidat terlepas dari nilai uang,” ujarnya.
Namun, di balik model pendanaan gotong royong ini, terdapat persoalan transparansi dalam pelaporan dana kampanye. Ada dugaan terdapat ketidaksesuaian antara laporan resmi dana kampanye dan realitas di lapangan. Hal ini disebabkan, antara lain, prosedur pelaporan dana kampanye yang masih cenderung rumit serta ada ketakutan yang membuat donatur tak berkenan namanya disebutkan dalam laporan.
Selain itu, Amalinda menyebutkan, dalam kontestasi politik, munculnya kandidat perempuan ditentukan oleh dinamika penawaran dan permintaan (supply and demand). Supply mencerminkan kesiapan individu perempuan untuk maju sebagai kandidat, sementara demand berkaitan dengan kesiapan parpol dan pemilih untuk memberikan dukungan.
Petugas memperlihatkan kertas suara yang diketahui rusak saat berlangsung pengecekan dan pelipatan kertas suara Pilgub Jatim yang baru tiba dari percetakan di Kantor KPU Surabaya, Jawa Timur, Rabu (30/5/2018). Surat suara yang baru tiba Sebanyak 2.058.310 lembar.
Petugas memperlihatkan kertas suara yang diketahui rusak saat berlangsung pengecekan dan pelipatan kertas suara Pilgub Jatim yang baru tiba dari percetakan di kantor KPU Surabaya, Jawa Timur, Rabu (30/5/2018). Surat suara yang baru tiba sebanyak 2.058.310 lembar.
Tiga faktor utama dalam supply adalah kemauan kandidat, kemampuan kandidat, dan sumber daya, termasuk anggaran. Di sisi demand, partai politik dan pemilih memiliki peran besar dalam menentukan keberhasilan kandidat perempuan.
Menurut Amalinda, banyak kandidat perempuan memiliki kualifikasi yang baik, tetapi terkendala oleh keterbatasan ekonomi dan jaringan sosial. Dengan kondisi ini, meskipun jumlah kandidat perempuan meningkat, mereka yang berhasil maju ke panggung politik sering kali berasal dari keluarga politik atau memiliki sumber daya ekonomi besar.
Untuk meningkatan partisipasi perempuan dalam politik elektoral, Titi Anggraini mendorong ada pengalokasian minimal 30 persen dari dana negara yang diterima partai politik untuk memaksimalkan kaderisasi dan rekrutmen perempuan dalam politik dan penguatan sayap perempuan partai politik.
Ia menyebutkan, selama ini, dana politik dari negara ini belum punya mekanisme khusus untuk kaderisasi perempuan. Selain itu, Titi juga berharap dana negara untuk partai ditingkatkan. ”Tentu seiring dengan peningkatan dana negara untuk partai politik, harus ada sistem akuntabilitas yang berjalan,” katanya.
Sumber artikel: Kompas Cetak