Jakarta, 15 Oktober 2024. Tak ada yang mengira, sebagian pengusaha tambang yang terekspose media mainstream bukanlah penguasa tambang. Sebut saja misalnya “Haji Isam”, pengusaha tambang penyokong Presiden Jokowi. Namanya tak muncul dalam “Laporan Pemilik Manfaat Perusahaan Tambang di Indonesia” yang melakukan riset terhadap 120 perusahaan pertambangan berdasarkan data laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia terkait dengan pembayaran pajak dan sumbangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terbesar tahun 2021. Setidaknya 95% kontribusi PNBP di sektor pertambangan dihasilkan dari 120 perusahaan tersebut.
TI Indonesia melakukan penelusuran dan analisis pemilik manfaar perusahaan tambang tersebut di situs pemilik manfaat AHU Kemenkumham dan sistem informasi Minerba One Data Indonesia (MODI) yang dimiliki Kementerian ESDM. Secara umum, 120 perusahaan tambang tersebut memperlihatkan kepatuhan kewajiban pelaporan pemilik manfaat sebagaimana Perpres Pemilik Manfaat 2018 mencapai 97% atau sejumlah 117 perusahaan. Hanya 3 perusahaan lainnya (2%) diantaranya yang tidak memenuhi kewajiban pelaporan atau tidak dapat ditemukan profil korporasinya.
Dari total 117 korporasi yang melaporkan pemilik manfaatnya, hanya 95 diantaranya yang merupakan orang perorangan atau subyek hukum alamiah. Sementara itu, 11 laporan lainnya (9%) adalah subyek hukum yang merupakan badan hukum. Perusahaan-perusahaan itu juga menggunakan model campuran terhadap 12 laporan lainnya (10%). Campuran yaitu ketika korporasi itu melaporkan pemilik manfaatnya tidak hanya orang tetapi juga badan hukum lain. Mendaftarkan badan hukum sebagai pemilik manfaat menjadi bermasalah karena yang terdaftar sebagai pemilik manfaat seharusnya orang perorangan. Sehingga menyalahi ketentuan dalam Perpres Pemilik Manfaat 2018.
Pelaporan badan hukum sebagai pemilik manfaat, mempersulit proses identifikasi pengendali utama suatu badan hukum (ultimate beneficial owners). Bisa saja, kemudian perusahaan yang dilaporkan sebagai pemilik manfaat tidak melaporkan pemilik manfaatnya atau tidak dapat diidentifikasi pemilik manfaatnya. Khususnya apabila perusahaan-perusahaan yang dilaporkan merupakan badan hukum asing yang berdomisili di lepas pantai (offshore companies), apalagi di negara-negara dengan yurisdiksi yang memiliki tingkat kerahasiaan tinggi. Dari 117 korporasi yang melaporkan pemilik manfaatnya, setidaknya 11 perusahaan melaporkan badan hukum lain yang memiliki domisili yurisdiksi asing, mulai dari di Taiwan, Singapura, Thailand dan Tiongkok. Ini akan semakin menyulitkan jika perusahaan memilih yurisdiksi yang tidak memiliki perjanjian tukar menukar informasi atau bantuan timbal balik, pelaporan pemilik manfaat oleh korporasi yang dilakukan menjadi tidak banyak gunanya.
Muhammad Yusuf (Ahli Tindak Pidana Pencucian Uang & Kepala PPATK 2011-2016) mengatakan bahwa “Perlu ada pengawasan terus menerus terhadap persoalan ini terutama yang punya dampak terhadap penerimaan negara.”
Kemudian Putri Wijayanti (Koordinator Program Anti Korupsi UNODC) menambahkan “Keterbukaan informasi pemilik manfaat, memang bagian dari UNCAC, tapi awalnya justru dari rezim pajak. Memang data ini biasanya dibutuhkan untuk kebutuhan perpajakan, untuk menutup celah dari asimetri informasi perpajakan antar negara. Kemudian baru masuk kebutuhan pencucian uang dari rezim Rekomendasi FATF. Transparansi pemilik manfaat ini juga bermanfaat untuk swasta, misalnya ketika aksi korporasi, atau penyedia jasa keuangan untuk mencegah risiko. Kalau melihat dari peraturan beban pengujian pemilik manfaat ada di korporasi, tentu ini tidak selalu efektif. Asosiasi pengusaha banyak yang belum memahami kewajiban ini atau bagaimana kewajiban ini harusnya dilaksanakan. Sebenarnya masing-masing pemangku kepentingan punya perannya masing-masing dalam rezim mengenali pemilik manfaat ini, termasuk verifikasi dan pengujian kualitas data”.
“Temuan riset TII tentang implementasi pelaporan BO di sektor pertambangan ini hampir serupa dengan 2 riset sebelumnya di sektor Sawit dan bubur kertas. Dimana, tingkat akurasi pihak yang dideklarasi sebagai BO sangatlah kecil. Bahkan, ada nama yang muncul berulang kali di sejumlah perusahaan besar namun tidak pernah diketahui identitas pastinya. Artinya, portal BO yang tersedia selama ini hanya sekedar tempat menyimpan data (repository) yang tidak pernah diuji kebenarannya” tutur Refki Saputra (Pengkampanye Greenpeace Indonesia).
Meliana Lumbantoruan (Deputi Direktur PWYP Indonesia), menegaskan bahwa transparansi pemilik manfaat (Beneficial Ownership/BO) memiliki peran krusial dalam mengatasi penghindaran dan penggelapan pajak di sektor pertambangan dan ekstraktif. “Transparansi BO tidak hanya bertujuan untuk mencegah pencucian uang dan pendanaan terorisme, tetapi juga berdampak langsung pada penerimaan negara melalui pencegahan penghindaran dan penggelapan pajak,” ujar Meliana. Meliana juga menambahkan bahwa perusahaan yang tidak patuh dalam mengungkapkan pemilik manfaat sebenarnya dapat menghadapi konsekuensi serius, termasuk pembatasan atau pencabutan izin serta penghalangan akses terhadap pendanaan. Ini menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa hanya perusahaan dengan kepatuhan penuh terhadap transparansi yang dapat beroperasi dan mendapatkan pembiayaan.
Hadir juga Farisca (Analis Hukum Dit Badan Usaha) yang mengatakan bahwa “Saat ini pemutakhiran data, diarahkan hanya dapat dilakukan oleh notaris. Terkait dengan kerjasama, yang jalan baru dua kementerian. Maka setelah 4 tahun, seolah isu pemilik manfaat hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Hukum dan HAM. Pasca blokir tidak ada lagi pelaporan korporasi. Verifikasi online, sudah dilakukan walaupun tipis berdasarkan data NIK, terutama pasca Januari 2024. Perusahaan terbatas adalah badan hukum yang tingkat pendiriannya cepat sekali, ketimbang jenis badan hukum yang lain. Sejak tahun 2024, pendirian PT harus memenuhi syarat pelaporan pemilik manfaat.”
Persoalan pemilik manfaat ini sebenarnya masih banyak yang perlu didorong dan diadvokasi, diantaranya perihal pemanfaatan selanjutnya. StranasPK sendiri belum tahu ke depannya akan seperti apa, akan tetapi kita terus dukung penguatan kelembagaan rezim pemilik manfaat, termasuk melalui revisi peraturan presiden” tutup Muhammad Isro (Tenaga Ahli StranasPK).
Siapa Maria Tiurma?
Riset ini juga menemukan ada konsentrasi pemilik manfaat korporasi oleh individu tertentu. Catatan ini mengidentifikasi juga beberapa nama dilaporkan sebagai pemilik manfaat oleh lebih dari satu perusahaan secara signifikan. Nama “Maria Tiurma” muncul sebagai pemilik manfaat yang dilaporkan setidaknya di dalam 25 laporan perusahaan. Jika data ini benar, angka ini seharusnya menunjukkan bahwa Maria Tiurma memiliki pengaruh yang sangat besar dalam industri tambang di Indonesia. Pada posisi berikutnya, ditempati oleh Julius Wahyu Kalaij, Willem Mathias Natigor Kalaij, dan Daniel Wahyu Kalaiy dengan keseluruhan mencapai 22 perusahaan. Berikutnya ada nama Garibaldi Thohir, individu yang diketahui sebagai konglomerat tambang baru muncul di posisi ketujuh dengan 3 perusahaan, nama keluarga Bakrie yang dikenal melalui Kaltim Prima Coal (KPC) bahkan tidak masuk dalam 120 perusahaan ini.
“Ada banyak kasus yang melibatkan oknum-oknum yang memiliki kepentingan tersembunyi dan mengendalikan perusahaan tambang meski tidak secara resmi tercatat dalam dokumen perusahaan. TI Indonesia menilai bahwa data pemilik manfaat sektor pertambangan gagal untuk menggambarkan penguasaan industri usaha pertambangan yang sebenarnya. Dugaan bahwa ini menjadi bagian dari praktik bisnis yang biasa dilakukan atau memang bertujuan menyembunyikan pemilik sebenarnya?” ujar Ferdian Yazid, Peneliti Transparency International Indonesia (TII).
Pemilik Manfaat dan Orang dengan Pengaruh Politik
Sektor pertambangan merupakan industri yang sangat sensitif terhadap pengaruh politik. Sehingga, agak sulit misalnya membayangkan bahwa di Indonesia pelaku usaha pertambangan jauh dari pengaruh politik dan lingkaran kuasa. Dari 120 perusahaan di bidang pertambangan, ditemukan bahwa setidaknya 52 perusahaan tersebut terpapar oleh setidaknya 123 orang dengan pengaruh politik, baik sebagai pengurus maupun pengendali atau pemegang saham. Orang-orang dengan pengaruh politik ini punya bobot kerentanan yang tinggi terhadap berbagai risiko, khususnya korupsi. Orang dengan pengaruh politik yang menempatkan dirinya di dalam perusahaan yang dekat dengan tugas dan fungsinya, rentan menimbulkan benturan kepentingan.
Jika belajar dari kasus korupsi perizinan sektor ekstraktif di tingkat global, lebih dari setengah kasus tersebut mengidentifikasi pola umum bahwa orang dengan pengaruh politik (Politically Exposed Person) menjadi pemilik manfaat akhir. Maka penting mengidentifikasi orang-orang dengan pengaruh politik signifikan di bidang pertambangan. Di Indonesia mungkin tak jauh berbeda, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) didominasi oleh korporasi yang memiliki hubungan dekat dengan elit politik.
Tantangan Penegakan Hukum
Informasi pemilik manfaat, memang diawali dengan rezim perpajakan dan pencucian uang khususnya dalam hal transaksi keuangan. Perbaikan dalam tata kelola perizinan, perkembangan prinsip mengenali pemilik manfaat juga diawali upaya menjawab tantangan kejahatan korupsi dan pencucian uang yang saat ini berkembang dengan menyalahgunakan badan hukum sebagai cara untuk menjauhkan pelaku utama. Terutama setelah tahun 2010, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) diterbitkan, istilah pemilik manfaat atau yang dalam undang-undang itu disebut sebagai Personil Pengendali Korporasi diperkenalkan dan bahkan dapat dikriminalisasi.
Meski telah disebut dalam regulasi formal terkait, selama ini juga belum banyak kasus korupsi yang dapat menjadi contoh penjeratan terhadap pemilik manfaat. Tantangannya diantaranya adalah menentukan dan melakukan verifikasi terhadap pemilik manfaat sebenarnya dari korporasi. Kasus-kasus korupsi itu memberikan garis bawah yang tebal terhadap efektivitas pengaturan mengenai pemilik manfaat. Tidak hanya soal bahwa datanya tidak tersedia ketika dibutuhkan penegak hukum, tetapi juga sejauh mana data itu akurat untuk dipergunakan. Akurasi dan ketersediaan informasi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, fungsi utama dari rezim mengenali pemilik manfaat justru terletak pada seberapa berguna informasi itu bagi penegak hukum atau penyelenggara kebijakan publik. Namun apakah penegak hukum sudah cukup punya data beneficial owner (BO) perusahaan, khususnya di sektor tambang? Jika berkaca pada penanganan terhadap kasus-kasus korupsi di sektor pertambangan memperlihatkan bagaimana ketidakakuratan dan ketidakpatuhan dalam pelaporan pemilik manfaat terus menjadi hambatan utama dalam penegakan hukum. Padahal, sudah banyak petunjuk yang menjelaskan bagaimana orang-orang dengan jabatan berpengaruh mendirikan perusahaan sebagai alat untuk melakukan kejahatan.
Rekomendasi
Ada paradoks menarik dari riset ini, meskipun tingkat kepatuhan administratif mereka tinggi, data yang dilaporkan tidak sepenuhnya memberikan gambaran akurat tentang profil industri. Informasi ini memberikan gambaran kemungkinan terjadinya kesenjangan yang luas antara kepatuhan formal dan kualitas informasi yang disajikan. Pelaporan yang demikian memiliki dampak yang sama dengan akurasi atau kelengkapan, justru memperlihatkan seolah sedang berupaya menyembunyikan pemilik manfaat sebenarnya.
Oleh karena itu diperlukan verifikasi intensif terhadap seluruh informasi pemilik manfaat yang disampaikan oleh korporasi pertambangan. Verifikasi ini bukan hanya soal memastikan keabsahan data, tetapi juga untuk mengurai struktur kepemilikan kompleks yang kerap digunakan untuk menyembunyikan identitas pemilik sebenarnya atau menghindari pajak dan regulasi hukum.
Perlu identifikasi terhadap individu-individu dengan pengaruh politik signifikan (PEPs) dalam industri ini menunjukkan betapa sektor pertambangan sangat dipengaruhi oleh dinamika politik. Hal ini menciptakan kerentanan terhadap benturan kepentingan dan meningkatkan risiko korupsi. Ketika tokoh politik terlibat dalam kepemilikan atau pengendalian perusahaan tambang, potensi penyalahgunaan kekuasaan semakin besar—baik melalui penyimpangan regulasi maupun pengaruh terhadap keputusan pemerintah yang menguntungkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Situasi ini menyerukan urgensi reformasi mendalam dalam pelaporan dan verifikasi pemilik manfaat di sektor pertambangan. Tujuannya jelas: memastikan transparansi, mengurangi benturan kepentingan, dan mencegah korupsi yang melibatkan kekuatan politik. Tanpa langkah tegas untuk memperbaiki sistem pelaporan dan penegakan regulasi yang lebih ketat, risiko ini akan terus berlanjut, menghambat upaya Indonesia dalam menciptakan industri pertambangan yang bersih, adil, dan berkelanjutan.
Download laporan lengkap Laporan Pemilik Manfaat Perusahaan Tambang di Indonesia