Bencana di Sumatera adalah Cermin Watak Rezim Ekstraktif

Warga melintasi jembatan sementara di Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. (ANTARA/HO-Pendam I/Bukit Barisan)

Jakarta, 2 Desember 2025 – Rangkaian bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa hari terakhir tidak dapat lagi dipahami sebagai fenomena cuaca semata. Narasi “bencana alam” yang terus direproduksi justru menutup realitas politik dan ekologis yang lebih mendasar. Sejumlah kajian akademik telah menunjukkan bahwa kerusakan ekologis di kawasan hulu yang merupakan hasil dari pembukaan hutan, pertambangan, dan praktik ekstraktif lainnya, telah meningkatkan intensitas dan frekuensi longsor serta banjir bandang. Bencana ini adalah konsekuensi dari buruknya tata kelola perizinan dan salah urus negara yang menggunakan logika ekstraktif sebagai landasan pembangunan.

Lebih dari satu dekade, pengelola negara secara agresif memperluas izin usaha pertambangan dan pelepasan kawasan hutan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan. Berdasarkan data Kementerian ESDM yang diolah oleh Jatam, terdapat sedikitnya 1.907 wilayah izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469,09 hektar di Sumatera. Ribuan izin ini menguntungkan korporasi dan oligarki sumber daya, tetapi meninggalkan masyarakat dalam kerentanan struktural, bencana ekologis dan potensi menciptakan kemiskinan baru akibat terdistraksinya ruang hidup masyarakat.

Temuan kajian terbaru Forest Watch Indonesia (FWI) dan Transparency International Indonesia (TII) pada 2025 memperlihatkan bahwa ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit dan pelepasan kawasan hutan menjadi salah satu faktor kunci kerentanan ekologis di Sumatera. Luas konsesi perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai sekitar 20,9 juta hektare, dengan sekitar 3,8 juta hektare di antaranya tumpang tindih dengan konsesi lain seperti kehutanan dan pertambangan. Di Sumatera sendiri, korporasi menguasai sekitar 11,9 juta hektare lahan, sementara masyarakat hanya sekitar 910 ribu hektare. Ketimpangan penguasaan lahan ini membuat banyak komunitas berada tepat di jalur ancaman banjir dan longsor.

Kajian yang sama mencatat sedikitnya 6,1 juta hektar kawasan hutan telah dilepaskan untuk perkebunan sawit hingga 2023, sementara jutaan hektare kebun sawit lainnya masih beroperasi hanya dengan izin usaha perkebunan tanpa Hak Guna Usaha (HGU) yang sah. Melalui skema “pemutihan” dalam kerangka UU Cipta Kerja, sekitar 1,7 juta hektare kebun sawit ilegal mencakup 1.679 izin diupayakan untuk dilegalkan tanpa evaluasi publik yang memadai. Kebijakan ini bukan hanya menormalisasi perusakan kawasan hutan, tetapi juga mengokohkan model pembangunan ekstraktif yang kini memicu bencana ekologis berulang di berbagai wilayah, termasuk Sumatera.

Penggunaan istilah “bencana alam” merupakan simplifikasi yang menyesatkan. Peristiwa yang terjadi adalah bencana ekologis, yakni bencana yang bersumber dari akumulasi kerusakan lingkungan akibat keputusan politik dan tata kelola sumber daya yang bias kepentingan ekonomi jangka pendek. Dengan menyebutnya sebagai bencana ekologis, kita menegaskan hubungan langsung antara kebijakan perizinan dan penderitaan warga terdampak. Narasi ini penting agar tanggung jawab politik tidak terdistorsi dan masyarakat memahami bahwa krisis ini bukan produk alam belaka, melainkan hasil dari struktur kebijakan yang tidak berpihak kepada keselamatan publik. Temuan FWI dan TII tentang ekspansi sawit, pelepasan kawasan hutan, dan pemutihan kebun ilegal menunjukkan bahwa penderitaan warga di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat hari ini merupakan konsekuensi langsung dari keputusan politik yang mengabaikan keselamatan ekologis.

Kemudian, percepatan penanganan dampak bencana ekologis harus mengedepankan prinsip-prinsip partisipatif.Pendataan kerusakan, kebutuhan korban, serta pemetaan risiko tidak boleh dikerjakan secara teknokratis atau terpusat. Warga terdampak, kelompok perempuan, masyarakat adat, dan organisasi masyarakat sipil harus dilibatkan sebagai aktor utama dalam proses perencanaan dan pemulihan.

Oleh karena itu, kami mendesak Presiden, DPR, Pemerintah Daerah untuk:

  1. Menetapkan bencana di Sumatera sebagai  bencana nasional, karena bencana ini telah memakan banyak korban meninggal, hilang, dan menyebabkan kerugian secara material baik dari sandang, pangan, papan hingga kerugian psikis.
  2. Menghentikan penerbitan izin baru di sektor pertambangan dan kehutanan di wilayah rawan bencana ekologis, sembari melakukan audit perizinan secara menyeluruh.
  3. Menerapkan mekanisme pendataan dan penanganan bencana yang partisipatif, melibatkan warga, kelompok perempuan, masyarakat adat, dan organisasi masyarakat sipil sebagai aktor utama dalam proses perencanaan dan pemulihan.
  4. Menindak tegas perusahaan yang terbukti melanggar izin, merusak kawasan hutan, atau mengabaikan kewajiban rehabilitasi. Cabut izin operasional perusahaan yang terbukti mengesampingkan kewajiban konservasi lingkungan dan menjatuhkan denda sesuai perundang-undangan.

Banjir dan longsor yang melanda Sumatera adalah bukti bahwa pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya alam telah mencapai titik jenuhnya. Pulau ini menjadi korban ambisi rezim ekstraktif yang mengabaikan aspek ekologis, sosial, dan HAM. Pembenahan tata kelola perizinan harus dilakukan segera, transparan, dan akuntabel; jika tidak, negara justru melanggengkan siklus penderitaan yang tidak hanya menghancurkan Sumatera, tetapi seluruh Indonesia.

Narahubung
TI Indonesia (+62 811-8869-711)

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved