Patronase dalam sistem politik kini merambah ke ranah bisnis saat kursi komisaris seolah menjadi imbal hasil dari dukungan politik pada masa pemilu.
Oleh Reza Syawawi
Problem korupsi di badan usaha milik negara (BUMN) menimbulkan beban ganda bagi negara, di satu sisi karena kedudukannya sebagai korporasi, dan dari segi fungsinya dalam pelayanan publik.
Korupsi di korporasi tentu menimbulkan dampak yang lebih luas ketimbang yang dilakukan individu, apalagi korporasi itu berkaitan langsung dengan pelayanan publik.
Kerugian negara yang dihitung Kompas dalam kurun waktu 2020-2024 yang ditimbulkan dari 16 perkara korupsi saja angkanya sudah mencapai Rp 83,36 triliun.
Besarnya dampak korupsi yang ditimbulkan oleh pelaku korporasi tersebut menjadi perhatian khusus dalam Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention Against Corruption/UNCAC). Pasal 26 konvensi ini mewajibkan negara-negara untuk menerapkan tanggung jawab badan hukum (the liability of legal persons) tanpa mengurangi tanggung jawab individu yang melakukan kejahatan.
Perubahan tata kelola BUMN yang dimunculkan dalam revisi Undang-Undang BUMN (UU No 1 Tahun 2025) justru mengatur hal sebaliknya. Bukannya memperkuat pertanggungjawaban korporasi, yang terjadi adalah memberikan proteksi hukum kepada pengelola BUMN.
Banyak ahli mengatakan bahwa pengaturan tersebut akan membuat celah korupsi di BUMN semakin terbuka (Kompas, 21/7/2025). Kondisi ini semakin pelik manakala praktik rangkap jabatan dan pengabaian konflik kepentingan dinormalisasi dalam pengelolaan BUMN.
Rangkap jabatan
Dalam catatan Transparency International Indonesia, hingga 16 Juli 2025 lebih dari separuh wakil menteri Kabinet Merah Putih menjabat sebagai komisaris di BUMN.
Sebanyak 34 dari 56 wakil menteri (termasuk wakil kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan) menjabat sebagai komisaris, mulai dari induk BUMN sampai anak usahanya.
BUMN yang paling banyak menempatkan wakil menteri sebagai komisaris adalah PT Pertamina dan PT Telkom Indonesia. Tiap-tiap BUMN tersebut menempatkan enam wakil menteri (wamen) di jajaran komisarisnya. Menyusul setelah itu, PT PLN (4), PT Pupuk Indonesia (2), dan PT Garuda Indonesia (2).
Di perbankan ada tiga wakil menteri, masing-masing menjabat komisaris di PT Bank Mandiri, PT BRI, dan PT BTN. Sisanya, sembilan wakil menteri, menghuni jabatan komisaris di berbagai lini bisnis BUMN.
Harus diakui bahwa terjadi apa yang disebut dalam Putusan MK Nomor 79/PUU-IX/ 2011 sebagai ”eksesivitas dalam pengangkatan wakil menteri”.
Sekalipun pengangkatan wakil menteri bukan persoalan konstitusional, faktanya dapat menimbulkan persoalan legalitas. Ada anomali ketika pengangkatan wakil menteri, yang pada awalnya dimaksudkan untuk membantu tugas menteri, dalam praktiknya wakil menteri justru mengurus sesuatu yang tidak menjadi tugas dari kementeriannya.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2022/05/11/ff3f188f-bab2-41bd-b87c-130ca98b515c_jpg.jpg)
Sebut saja Wakil Menteri HAM yang menjabat sebagai komisaris utama di BUMN yang mengurus soal bisnis aviasi. Ada pula Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga yang didapuk mengawasi anak usaha PT PLN, dan banyak wakil menteri lainnya yang menjabat di BUMN yang jauh dari isu kementeriannya.
Putusan MK Nomor 80/PUU -XVII/2019 dengan sangat jelas dalam pertimbangan hukumnya menyatakan: ”Maka wakil menteri haruslah ditempatkan pula sebagai pejabat sebagaimana halnya status yang diberikan kepada menteri”.
”Dengan status demikian, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Nomor 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri. Pemberlakuan demikian dimaksudkan agar wakil menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat wakil menteri di kementerian tertentu”.
Dalam situasi semacam ini, penulis merasa sulit untuk menggambarkan komplikasi legalitas macam apa yang sedang melanda kabinet saat ini.
Konflik kepentingan
Praktik rangkap jabatan ini semakin menunjukkan anomali dalam penguatan BUMN sebagaimana disebutkan Presiden Prabowo dalam Astacita untuk ”menguatkan manajemen BUMN yang profesional dan berintegritas serta bebas dari kepentingan politik praktis”.
Tidak hanya rangkap jabatan wakil menteri, praktik penunjukan komisaris di BUMN juga lebih kentara melibatkan faktor politik ketimbang soal profesionalitas dan integritas.
Patronase dalam sistem politik kini merambah ke ranah bisnis saat kursi komisaris seolah menjadi imbal hasil dari dukungan politik pada masa pemilu.
Padahal, UNCAC dalam Article 7 yang mengatur soal pencegahan korupsi di sektor publik salah satunya harus dilakukan melalui penguatan sistem pencegahan konflik kepentingan (prevent conflicts of interest).
Posisi komisaris sebagai pengawas korporasi seperti kehilangan relevansinya. Padahal, dalam pengelolaan korporasi, jabatan komisaris dapat dikenai tanggung jawab pribadi jika terjadi kerugian terhadap korporasi yang disebabkan oleh kelalaian dan kesalahan dalam menjalankan tugasnya (business judgment rule).
Kesalahan atau kelalaian salah satunya dapat muncul apabila terjadi konflik kepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung, antara komisaris dan kebijakan perusahaan, yang merugikan korporasi.
Jika diamati penunjukan komisaris BUMN dilakukan tanpa proses uji tuntas (due diligence) untuk menilai kapasitas, integritas, apalagi sampai memetakan potensi konflik kepentingan yang akan terjadi.
Reza Syawawi, Knowledge Management Transparency International Indonesia
Artikel ini telah terbit di Harian Kompas Edisi Rabu, 23 Juli 2025