Siaran Pers
“Penjabat Gubernur: Menguatnya Korupsi Politik dalam Pilkada 2024 dan Ancaman Bagi Kelompok Rentan”
Jakarta, 8 Juli 2024 – Transparency International Indonesia (TI Indonesia) mendesak Pemerintah untuk segera memperbaiki tata kelola pengangkatan dan evaluasi terhadap Penjabat Gubernur (PJ Gubernur). Sejak awal, penunjukkan PJ Gubernur tidak transparan dan nir-partisipasi, sehingga dalam praktiknya kehadiran PJ Gubernur tidak dirancang untuk menyelesaikan masalah di daerah. Bahkan kinerja PJ Gubernur cenderung hanya business as usual dan lebih mengedepankan kepentingan kebijakan Pemerintah Pusat.
Secara politik, PJ kepala daerah (termasuk PJ Gubernur) justru menjadi bagian dari masalah dalam penyelenggaraan pemilu presiden dan legislatif 2024. Hal ini dapat ditelusuri dalam proses persidangan perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguatkan indikasi ketidaknetralan PJ kepala daerah dalam pemilu. Ketidaknetralan tersebut merembet pada penggunaan kekuasaan untuk mempengaruhi aparatur sipil di daerah hingga perangkat desa untuk memenangkan paslon tertentu. Akibatnya kebijakan dan anggaran daerah tidak lagi memprioritaskan kepentingan warga, alih – alih terhadap kelompok rentan. Kehadiran PJ kepala daerah pada akhirnya justru menambah “kerentanan” bagi kelompok rentan.
PJ kepala daerah telah menjadi instrumen untuk melanggengkan praktik korupsi politik. Stagnasi Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia Tahun 2023 setidaknya mengkonfirmasi bahwa masalah korupsi politik masih mengakar dalam sistem demokrasi Indonesia. Pilkada Serentak 2024 yang sedang berjalan terancam menjadi ajang transaksional yang melibatkan PJ kepala daerah sebagai aktor mengendalikan kebijakan di daerah. Terlebih lagi penggantian PJ kepala daerah dimasa tahapan pilkada yang sedang berjalan lebih memperlihatkan upaya sistematis untuk memastikan kepentingan politik para pemegang kekuasaan dimenangkan dalam kontestasi pilkada.
Rapor Merah Kinerja Penjabat Gubernur
Iklim politik di rezim Presiden Joko Widodo ini cenderung pada politik populis, yakni menampilkan wajah pemerintah yang dermawan (benevalant dictatorship) padahal dibalik semua itu berwatak otoritarian. Hal demikian juga dapat kita jumpai dari kinerja PJ Gubernur yang piawai memainkan narasi demokrasi pro-rakyat, melalui bantuan sosial, subsidi, fasilitas gratis dan membawa narasi pro terhadap kelompok rentan. Namun, sering kali kebijakan ini justru mengabaikan stabilitas ekonomi dan kepentingan jangka panjang. Bahkan kelompok rentan hanya dijadikan jargon kampanye semata—pada tataran taktis, mereka masih teramat sulit mendapatkan haknya sebagai bagian dari warga negara dan sering kali tidak memiliki akses atau kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang mempengaruhi mereka.
Agus Sarwono, Peneliti TI Indonesia menegaskan bahwa “Tidak ada proses demokrasi dari penetapan PJ Gubernur ini. Dimulai dari perencanaan dan penganggaran, penyelenggaraan pelayanan publik hingga pada pengawasan masih menempatkan kelompok rentan hanya sebagai obyek pembangunan bukan aktor dari pembangunan itu sendiri. Pada praktiknya, mereka yang rentan masih sulit mendapatkan hak politiknya, terdiskriminasi dan mendapatkan kekerasan.”
TI Indonesia telah mengukur kinerja PJ Gubernur dengan menggunakan instrumen Governor Performance Scorecard (GPS). Pengukuran ini dirancang khusus untuk menggali pengalaman kelompok rentan dalam 3 (tiga) klaster yakni perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan pelayanan publik dan pengawasan kebijakan pemerintah daerah. Hasilnya tidak memadai dan bermasalah di berbagai dimensi, yakni dimensi transparansi, akuntabilitas, partisipasi, inklusivitas dan manfaat.
Kebijakan politik terpusat atau sentralisasi yang diterapkan di rezim Presiden Joko Widodo pada akhirnya justru mengabaikan kepentingan publik di daerah. Wajar jika proses pemilihan PJ Gubernur tidak demokratis karena tidak melalui proses yang partisipatif, transparan, dan akuntabel. Bahkan dalam konteks pemilihan Pilkada Serentak di November 2024 mendatang, jika pola kerja PJ Gubernur masih pada kerja business as usual memperbesar risiko pelanggaran netralitas yang dapat bermuara pada praktik penyalahgunaan kekuasaan. Fenomena ini menjadi sinyal bahwa pelemahan terhadap demokrasi secara terstruktur dan mendalam telah menjadi ancaman bagi kepentingan publik di daerah.
Narahubung:
Agus Sarwono (asarwono@ti.or.id)
Media TI Indonesia (+62 811-8869-711)
Download Materi Presentasi
Live Streaming Acara