Alih-alih bersih-bersih di lingkungan internalnya, MA justru dinilai mencederai kepercayaan publik karena telah memangkas hukuman Gazalba Saleh.
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Agung memangkas hukuman Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh dari 12 tahun kembali menjadi 10 tahun penjara seperti vonis pengadilan tingkat pertama menuai kritik. Alih-alih bersih-bersih dari mafia peradilan, sikap MA itu justru dinilai mencederai kepercayaan publik. Komitmen MA dalam pemberantasan korupsi pun dipertanyakan.
MA menolak kasasi yang diajukan Gazalba Saleh, terdakwa kasus dugaan gratifikasi pengurusan perkara di MA dan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp 37 miliar. Meski demikian, majelis hakim yang diketuai Agung Dwiarso Budi Santiarto dengan anggota hakim Agung Arizon Mega Jaya dan Yanto mengurangi hukuman Gazalba menjadi 10 tahun penjara serta denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan dan uang pengganti Rp 500 juta subsider 1 tahun penjara.
Putusan kasasi itu sama dengan vonis pada peradilan tingkat pertama, tetapi lebih ringan dibanding putusan di tingkat banding. Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memutus Gazalba dihukum 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 4 bulan kurungan, dan uang pengganti Rp 500 juta subsider 2 tahun penjara.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2024/09/17/b6ef801e-ccd0-45da-ba99-d19f3ddf0e3a.jpg)
Izza menegaskan bahwa kasus Gazalba Saleh yang tersandung gratifikasi penanganan perkara sesungguhnya telah mencoreng nama baik MA. Ironisnya, alih-alih memanfaatkan momentum ini untuk bersih-bersih, MA justru mencederai kepercayaan publik dengan adanya putusan yang meringankan ini.
Pemangkasan hukuman ini dapat dimaknai bahwa MA masih mempunyai pekerjaan rumah yang cukup besar dalam meneguhkan kembali komitmen dalam pemberantasan korupsi, khususnya di internal MA, mengingat Gazalba Saleh adalah seorang Hakim Agung.
Padahal, MA dapat memperbaiki citranya sebagai lembaga peradilan yang berintegritas lewat kasus Gazalba Saleh. Namun, mereka gagal menunjukkan taringnya terhadap komitmen pemberantasan korupsi.
”MA harusnya menjadikan kasus Gazalba Saleh ini sebagai momentum untuk memberantas korupsi peradilan, khususnya di lembaganya,” katanya.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/photo/ori/2022/12/09/7d98dbdd-b380-4635-adfd-21e385452ed1.jpg)
Hakim Agung, termasuk Gazalba Saleh, seharusnya memiliki integritas yang tak diragukan lagi. Namun, vonis ringan terhadap rekan kerjanya, lanjut Izza, menunjukkan betapa sulitnya MA menegakkan keadilan di internalnya sendiri.
Gagal timbulkan efek jera
Dihubungi secara terpisah, pegiat antikorupsi, Tibiko Zabar, menyampaikan, putusan MA sangat mengecewakan dan tidak sejalan dengan upaya pemberantasan mafia peradilan. Bahkan, vonis tersebut dinilai gagal karena tidak menimbulkan efek jera.
”Pertama, pelaku adalah seorang hakim agung yang seharusnya punya nilai dan memegang beban moral marwah peradilan yang lebih besar. Maka, tindakan korupsi yang dilakukan tidak hanya sekadar melanggar UU Tipikor, tetapi juga mencoreng lembaga MA,” katanya.
:quality(80)/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2024/11/05/76d4183a-e27c-4213-9cec-748a0b71eba8_jpg.jpg)
Beberapa waktu belakangan, kian marak kasus-kasus korupsi yang menjerat hakim. Oleh karena itu, menurut Tibiko, mekanisme pengawasan dan pencegahan harus diperbaiki, salah satunya lewat pemberian hukuman berat bagi hakim-hakim korup atau mafia peradilan.
Ketegasan terhadap mafia peradilan akan berimbas positif pada upaya ”bersih-bersih” di lembaga peradilan. Namun, menurut Tibiko, upaya bersih-bersih itu tidak terlihat karena MA justru menetapkan hukuman lebih ringan kepada Gazalba Saleh.
Sumber: Kompas ID