RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Dibahas, Negara Kehilangan Triliunan Tiap Tahun

ILUSTRASI

Kehilangan potensi pemasukan merupakan kerugian besar bagi keuangan negara. Pemasukan bagi negara bernilai penting karena dapat dimanfaatkan membiayai pembangunan.

Indonesia dinilai kehilangan potensi pemasukan negara hingga triliunan rupiah setiap tahun akibat belum disahkannya Rancangan Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset. Tanpa instrumen hukum yang kuat, negara kesulitan memulihkan kerugian akibat korupsi, terutama jika aset hasil kejahatan tidak bisa disita karena pelaku meninggal, kabur, atau belum divonis.

Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, menegaskan, urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset saat ini sangat tinggi dan semakin mendesak. ”Saat ini, banyak aset hasil kejahatan tidak bisa dirampas karena pelaku meninggal, kabur, atau belum divonis,” kata Alvin saat dihubungi dari Jakarta, Senin (16/6/2025).

Tanpa adanya instrumen hukum non-conviction based atau perampasan aset tanpa harus menunggu vonis pidana, lanjut Alvin, negara akan terus kehilangan potensi triliunan rupiah setiap tahun. Kehilangan potensi pemasukan merupakan kerugian besar bagi keuangan negara yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan.

Selain itu, Alvin juga mendesak agar ada pembahasan soal pembentukan badan pengelola aset terpadu guna memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset hasil sitaan. Tanpa pengawasan ketat dan aturan hukum acara yang kuat, penyitaan aset berpotensi memicu penyalahgunaan kekuasaan dan kurangnya transparansi.

Infografik RUU Perampasan Aset *** Local Caption *** Jajak PendapatInfografik Jajak Pendapat RUU Perampasan Aset

”Pemerintah harus menjamin proses yang adil, transparan, dan akuntabel untuk mencegah potensi abuse of power dan kurangnya transparansi pengelolaan aset hasil sitaan,” kata Alvin.

Badan pengelola aset terpadu tersebut, menurut Alvin, sangat krusial untuk mengatasi tumpang tindih kewenangan yang sering terjadi di antara lembaga penegak hukum. Ia mengusulkan agar badan ini dikelola secara sinergis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan, dan otoritas terkait lainnya.

Di sisi lain, RUU Perampasan Aset diharapkan dapat mengatur pembatasan ruang lingkup aset yang bisa dirampas, yakni hanya aset bernilai di atas Rp 100 juta dari kejahatan berat dengan ancaman pidana minimal empat tahun. Tak kalah penting, RUU juga harus melindungi pihak ketiga yang beritikad baik yang mungkin secara tidak sengaja terkait dengan aset sitaan.

”Perlunya diatur perlindungan bagi pihak ketiga beritikad baik yang mungkin terkait aset tersebut,” kata Alvin.

Sebuah benda sitaan dari koruptor yang dilelang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditampilkan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan) KPK, Cawang, Jakarta, Kamis (12/6/2025).

Adapun RUU Perampasan Aset berjalan tidak jelas selama lebih dari satu dekade. Meskipun sudah digagas sejak 2009 dan rancangan pertamanya rampung pada 2012, hingga tahun ini RUU tersebut masih menunggu untuk dibahas dan disahkan.

Saat menyampaikan pidato pada Hari Buruh, 1 Mei 2025, Presiden Prabowo menyampaikan dukungan agar RUU Perampasan Aset segera dibahas oleh pemerintah dan DPR. Menurut dia, undang-undang itu penting untuk menarik kembali kekayaan negara yang dikuasai oleh para koruptor.

”Saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Enak aja, udah nyolong enggak mau kembalikan aset. Gua tarik aja, deh, itu. Setuju? Bagaimana? Kita teruskan? Kita teruskan perlawanan terhadap koruptor?” tutur Prabowo di hadapan para buruh kala itu.

Presiden Prabowo Subianto (kedua dari kanan) berpidato dalam peringatan Hari Buruh atau May Day di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Kamis (1/5/2025).

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, Rabu (4/6/2025), mengungkapkan, Presiden Prabowo sudah berkomunikasi dengan para ketua umum partai-partai politik agar bersedia mendukung pembahasan RUU Perampasan Aset.
Baca JugaPresiden Lobi Parpol, RUU Perampasan Aset Berpeluang Masuk Prolegnas 2025

Di sisi lain, hasil jajak pendapat Kompas yang digelar pada 19-22 Mei 2025 menunjukkan masih rendahnya pengetahuan publik terhadap keberadaan RUU Perampasan Aset. Hanya 23 persen responden menjawab mengetahui dan paham soal RUU tersebut. Sekitar 39,6 persen responden lainnya mengaku pernah mendengar, tetapi tidak memahaminya. Sisanya, 35,3 persen responden belum pernah mendengar RUU ini sama sekali.

Meskipun ada masyarakat yang belum tahu, bukan berarti publik abai merespons kejahatan yang merugikan negara. Ketika publik mulai memahami isi RUU, mereka pun menyatakan dukungan kuat terhadap RUU Perampasan Aset ini. Sebanyak 94,2 persen responden memandang perlu aturan khusus terkait perampasan aset pidana korupsi dan narkoba.

infografik Perjalanan RUU Perampasan Aset
Infografik Perjalanan RUU Perampasan Aset

Akan tetapi, hasil jajak pendapat juga mengungkap sisi lain persepsi masyarakat, yakni skeptisisme terhadap transparansi pemerintah. Hanya 6,2 persen yang menjawab sangat percaya dan 47,2 persen menjawab percaya pemerintah akan transparan.

Sementara itu, tak kurang dari 42,2 persen responden meragukan transparansi pemerintah dalam mengelola aset hasil rampasan kejahatan. Angka ini menunjukkan adanya kegamangan yang membayangi dukungan kuat sebelumnya.
Baca JugaPrabowo Geram Korupsi Masih Masif, tetapi RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Dibahas

Mereka khawatir hasil sitaan akan jatuh ke tangan elite yang keliru. Meski demikian, rakyat tidak ingin wacana RUU Perampasan Aset terus menguap. Mayoritas responden (92,5 persen) berharap RUU itu segera disetujui DPR.

Sumber: Kompas ID
Artikel ini telah tayang di harian Kompas editsi 16 Juni 2025

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved