Proyeksi dan Tantangan Transparansi dalam Implementasi Ekonomi Biru yang Adil dan Berkelanjutan

Pada Senin dan Selasa, 20 – 21 Maret 2023, Transparency International (TI) Indonesia bersama dengan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia dan Pusat Studi Agraria (PSA) IPB telah mengadakan diskusi masyarakat sipil serta seminar nasional yang mendiskusikan tentang proyeksi dan tantangan dalam implementasi program “ekonomi biru” yang adil dan transparan di Indonesia. Dialog ini memfasilitasi pemerintah, masyarakat sipil, asosiasi profesi, kelompok nelayan dan akademisi untuk berkomunikasi tentang pentingnya transparansi dan berbagai tantangan dalam implementasi program ekonomi biru.

Tujuan dari acara ini adalah memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah agar implementasi program ekonomi biru bisa berdampak positif baik bagi pertumbuhan ekonomi, sosial dan lingkungan (ekologis).

Staf Ahli Menteri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antar Kelembagaan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dr. Budi Sulistyo mengatakan, ekonomi biru ini merupakan bagian upaya memperbaiki tata kelola sumber daya laut kepentingan Indonesia. “KKP juga telah membuat command center untuk melakukan pengawasan, pendataan dan sistemnya akan semakin diperbaiki”, ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, TI Indonesia, DFW Indonesia dan PSA IPB meluncurkan Kertas Kebijakan bertajuk Rambu-Rambu Kebijakan Ekonomi Biru di Indonesia yang secara garis besar menyoroti bahwa ekonomi biru yang ada di Indonesia terkesan masih tidak berpihak pada subjek utamanya, masyarakat pesisir lokal dan nelayan kecil tradisional. Kertas kebijakan ini telah disampaikan kepada pemerintah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

Adapun rekomendasi dari kertas kebijakan tersebut diantaranya:

Pemerintah dan/atau Regulator

  1. Tata kelola kelautan-perikanan berbasis ekonomi biru yang penerjemahannya bukan sekadar menggunakan kacamata pertumbuhan ekonomi, tetapi juga fokus pada pemerataan, keberpihakan pada masyarakat, dan berasaskan keberlanjutan bagi lingkungan dan ekonomi yang inklusif.
  2. Monitoring, pengawasan, dan penegakkan hukum, dari perizinan hingga evaluasi implementasi kebijakan ekonomi biru– dan peka terhadap kearifan lokal.
  3. Transformasi digital dan teknologi (interoperabilitas dan integrasi data, kecerdasan buatan, dan sebagainya) perlu menjadi perhatian KKP untuk integrasi data yang mutakhir– hal paling dasar untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas K/L terkait.
  4. Harmonisasi dan formulasi kebijakan ekonomi biru ala pemerintah yang kolaboratif, dari Kementerian di level pusat hingga pemerintah provinsi dan pelaksana teknis di daerah agar kebijakan ekonomi biru ini masih dalam koridor yang benar.
  5. Pelibatan masyarakat yang partisipatif dalam perumusan aturan dan turunan kebijakan agar aturan yang ada berpihak pada masyarakat, tidak sekadar kepentingan nelayan dan pengusaha skala besar.
  6. Keresahan masyarakat dan nelayan kecil tentang berbagai hal tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan aturan all-in-one. Perlu pendekatan yang adaptif dan berangkat dari kondisi riil lingkungan serta memperhatikan hak dan kebutuhan masyarakat.

Masyarakat Sipil

  1. Mengawal Pemerintah dalam implementasi kebijakan ekonomi biru yang berpihak pada masyarakat dan nelayan tradisional/kecil.
  2. Menjalankan pengawasan yang ketat kepada pemerintah dalam proses monitoring dan penegakan hukum terkait tata kelola kelautan dan perikanan.
  3. Advokasi penerjemahan ekonomi biru yang sifatnya tidak hanya definisi normatif, tetapi kembali pada definisi yang kebijakan ekonomi biru yang adil dan tidak berujung pada pertumbuhan biru dan perampasan ruang.
  4. Kerja-kerja kolaborasi yang tidak hanya sebatas di ruang-ruang tertutup, tetapi masyarakat sipil juga perlu turun ke lapangan untuk merangkul dan melihat realita yang ada.

Unduh paparan narasumber:

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *