Pimpinan dan Dewas KPK 2024-2029 Dilantik Hari Ini, Pemberantasan Korupsi di Titik Nadir?

Jakarta, 16 Desember 2024 – Bertempat di Istana Negara Jakarta, Presiden Prabowo Subianto telah melantik Pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029 pada hari ini, Senin, 16 Desember 2024.

Kelima Pimpinan lembaga antirasuah yang telah dilantik adalah Setyo Budiyanto sebagai Ketua KPK, dan Fitroh Rohcahyanto, Ibnu Basuki Widodo, Johanis Tanak, serta Agus Joko Pramono sebagai wakil ketua. Sementara, untuk Dewan Pengawas adalah Benny Mamoto, Chisca Mirawati, Wisnu Baroto, Gusrizal, dan Sumpeno.

Proses seleksi dan pemilihan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK dipenuhi kompromi terhadap independensi, minimnya partisipasi publik dan rekam jejak yang bermasalah. Sesungguhnya sangat sulit mengharapkan para Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK yang telah dilantik mampu menjalankan fungsi dan wewenang pemberantasan korupsi secara menyeluruh, imparsial dan mampu berdiri di atas berbagai kepentingan masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

 Pertama, selama proses seleksi, fit & proper test, hingga pemilihan, hampir seluruh Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK yang saat ini terpilih, setuju untuk memprioritaskan aspek pencegahan, dibandingkan penindakan dan pengembalian kerugian negara. Bahkan dengan jelas mempunyai visi untuk meniadakan operasi tangkap tangan yang justru menjadi tulang punggung pengembangan perkara korupsi di masa lalu. Paradigma ini jelas berbahaya karena pola korupsi di Indonesia yang sistemik, membutuhkan pendekatan pemberantasan korupsi yang menyeluruh.

Tren pada skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia beberapa tahun terakhir justru menegaskan pentingnya pendekatan pemberantasan korupsi yang menyeluruh dan mendalam. Di mana fungsi penindakan/penegakan hukum terutama yang menyangkut korupsi politik, harus menjadi prioritas. Sebab korupsi politik menjadi pangkal bagi korupsi seperti pengadaan barjas, perizinan, dan konflik kepentingan. Pendekatan yang menitikberatkan pada pencegahan semata berpotensi terus menggerus profesionalitas dan kapasitas kelembagaan KPK, serta membuka ruang tarik-menarik kepentingan dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi.

Kedua, moralitas dan profesionalitas kelembagaan KPK ke depan akan sangat diuji karena mayoritas Pimpinan dan Dewas KPK 2024-2029 yang telah dilantik memiliki latar belakang sebagai penegak hukum. Perjalanan UU 19/2019 membuktikan bahwa KPK justru semakin inferior ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum lain seperti institusi Kepolisian dan Kejaksaan, bahkan institusi militer.

Relasi yang timpang ini merupakan imbas nyata dari hancurnya fungsi trigger mechanism pemberantasan korupsi dalam UU KPK baru, sehingga alih-alih KPK memimpin proses pengungkapan kasus, lembaga ini justru terkesan tunduk pada lembaga penegak hukum lain. Potensi penundukan KPK yang lebih dalam, diikuti dengan keengganan mengusut kasus korupsi di lembaga penegak hukum lain dan militer, bukan tak mungkin akan semakin besar.

Kekhawatiran lainnya adalah juga soal loyalitas ganda. Beberapa Pimpinan dan Dewan Pengawas diketahui masih aktif sebagai aparat penegak hukum dan lembaga pemeriksa. Idealnya setelah dilantik para Pimpinan dan Dewan Pengawas harus mundur dari lembaga asal untuk menjaga independensi dan menghindari konflik kepentingan.

Ketiga, krisis integritas dan etik sangat mungkin terus berlanjut lantaran para Pimpinan dan Dewan Pengawas yang dilantik juga memiliki rekam jejak bermasalah. Sejumlah Pimpinan dan Dewan Pengawas baru, memiliki berbagai catatan dari publik, mulai dari tidak patuh dalam melaporkan harta kekayaan hingga fluktuasi harta kekayaan yang tidak wajar. Bahkan ada yang pernah tersandung pada persoalan pidana dan etik, berupa potensi konflik kepentingan.

Padahal sebagai lembaga antikorupsi, KPK harus mempunyai kapasitas, integritas, independensi politik, dan rekam jejak yang baik. Di mana nilai dasar tersebut merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Terlebih saat ini KPK juga diterpa dengan sejumlah masalah kelembagaan internal, baik itu isu independensi organisasi, kapasitas pengungkapan kasus korupsi, hingga masalah etik dan kepemimpinan. Sehingga potensi absennya tone from the top ini, akan terus menggerus integritas kelembagaan KPK itu sendiri. Mengingat sejumlah perkara korupsi juga dilakukan oleh pegawai KPK di bawah UU KPK yang baru seperti pemerasan dan suap terhadap tahanan, pencurian dan hilangnya barang bukti korupsi hingga menjadi makelar kasus.

Dalam situasi penuh keraguan di atas, tampak jelas bahwa faktor partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi tampak sekali lagi akan menjadi penentu keberhasilan KPK ke depan. Selama kepemimpinan KPK lima tahun terakhir, partisipasi publik telah ditekan sedemikian rupa sehingga berhasil mendudukan persoalan pemberantasan korupsi hanya sebagai isu yang eksklusif bagi penegak hukum. Pertanyaan sejauh mana partisipasi publik akan dimaknai oleh KPK ke depan, juga akan menentukan sejauh mana publik akan berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi.

Oleh karena itu, Transparency International Indonesia dalam pernyataan sikap ini kembali mendorong, agar publik secara luas untuk tak kenal lelah ikut serta dalam agenda pemberantasan korupsi, meskipun di tengah berbagai himpitan dan keterbatasan. Publik dapat memainkan peran untuk terus melakukan pengawasan terhadap kerja KPK, maupun aparat penegak hukum lain dalam pemberantasan korupsi, serta tetap mendorong agar Pemerintah dan DPR berani untuk menganulir UU 19/2019 serta mengevaluasi agenda politik hukum pemberantasan korupsi Indonesia secara jangka panjang dan menyeluruh.

Narahubung:
Dzatmiati Sari (TI Indonesia) : +62 811-8869-711

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved