
Presiden ke delapan, Prabowo Subianto secara tegas menyampaikan bahwa, program kerjanya kedepan dipastikan mengutamakan kepentingan rakyat. Pidatonya pada 20 Oktober 2024 menyebutkan “kepentingan rakyat Indonesia di atas segala golongan, apalagi kepentingan pribadi”. Salah satu bukti dari implementasi pidato ini adalah program quick winyang diasumsikan mengedepankan kepentingan public. Salah satu contoh program quick win atau Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang langsung menyasar pada murid sekolah. Tempo mencatat bahwa dari sekian program quick wins yang ada, MBG memakan Rp 71 trillun dari total anggaran Rp 121 triliun.
Jika alokasi anggaran yang begitu besar tidak diawasi atau dikawal dengan baik, tentu saja memiliki risiko korupsi yang sangat tinggi. Bukan tidak mungkin, program yang tujuannya baik, justru dimanfaaatkan oleh para pemburu rente (pengusaha yang memiliki koneksi dekat dengan pemerintah), mengingat program tersebut merupakan program belanja yang mudah untuk dimanupulasi. Pertanyaannya kemudian, bagaimana Presiden Prabowo memastikan bahwa program hasil terbaik cepat tersebut bukan hanya tepat sasaran dan terhindar dari praktik korupsi dalam menjalankan Program quick win?
Kami berargumen bahwa mitigasi pengadaan barang dan jasa bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, adalah pemerintah perlu segera implementasi kebijakan beneficial ownership (BO) kepada para perusahaan pengada barang dan jasa tersebut. Kedua, risiko korupsi dapat dilakukan dengan implementasi kebijakan yang kontekstual, melibatakan partisipasi publik dan kepepentingan lainnya dalam menentukan kebutuhan barang dalam program MBG. Implementasi ini melibatkan kepentingan ide dan informasi para aktor yang terlibat, termasuk kantin sekolah dan pegawai operasional sekolah.
Pengadaan Rawan Korupsi
Pengadaan barang/jasa merupakan kegiatan penting demi meningkatkan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan warga. Cara pengadaannya pun telah diatur dengan mengedepankan prinsip pengadaan yang efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil dan tidak diskriminatif, serta akuntabel. Namun demikian, data Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan, korupsi di sektor pengadaan saat ini menempati posisi kedua setelah penyuapan. Selama periode 2004–2024, sektor pengadaan barang dan jasa tercatat sebanyak 369 kasus korupsi sementara kasus penyuapan mencapai 1.012 kasus.
Jika dikaitkan dengan program Asta Cita Presiden Prabowo yang ingin memperkuat tata kelola pemerintahan dan digitalisas, sudah dipastikan Presiden berkeinginan untuk memastikan penguatan digitalisasi di sektor pengadaan, dengan memperkuat sistem e-katalog. Tujuannya agar semua pengadaan nantinya melalui sistem e-katalog agar pengadaan lebih efisien. e-katalog ini nantinya bisa membantu pencapaian program prioritas yang terkai dengan program makan bergizi.
Digitalisasi proses pengadaan memang penting, namun sejatinya belum mampu mengurangi praktik korupsi sesungguhnya. Tak sedikit kasus korupsi pengadaan yang dilakukan secara digital seperti e-katalog. Masih banyak akal-akalan modus korupsi walau sudah dilakukan secara elektronik. Salah satunya adalah dengan pembelian berulang kepada penyedia yang sama, pembelian paket pengadaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau spesifikasi tertentu, hingga penyusunan rencana pengadaan yang menguntungkan penyedia tertentu.
Selain itu, korupsi politik tetap mewarnai walau e-katalog telah diberlakukan. Terdapat adanya potensi pengaturan pengadaan yang memenangkan vendor tertentu sebegai bentuk balas jasa pasca pemilihan umum Februari 2024, dengan modus mark-up harga, manipulasi data penerima manfaat, konflik kepentingan, mengatur kebutuhan belanja hinga kick-back dari vendor yang telah dimenangkan. Belum adanya aturan tata laksana dalam implementasi program makanan bergizi gratis juga menjadi celah pengadaan, menimbulkan adanya pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan dan disribusi yang tidak tepat sasaran.
Celah pengadaan ini dapat dimanfaatkan oleh para pemburu rente. Salah satu bukti konkret dari kasus ini adalah kasus korupsi bantuan sosial COVID-19 oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, dimana penyerapan dana harus cepat sehingga terjadi penunjukkan langsung vendor dengan konflik kepentingan tertentu. Dalam konteks program makan bergizi gratis, praktik pemburu rente dalam penyediaan bahan pokok makanan dengan manipulasi harga pangan, pemusatan pemasok bahan pokok, hinggan pengendalian rantai disribusi antara penyedia bahan pokok dan vendor.
Kita juga dapat berkaca pada analisis KPK dalam kajian risiko korupsi pada program penurunan stunting, salah satunya adalah pemberian makan tambahan. Kajian ini memberikan dua lensa tambahan, yakni penganggaran dan pengawasan. Dalam konteks penganggaran, misalnya terdapat tumpang tindih anggaran di pemerintah pusat dan pemeirntah daerah. Sementara pada aspek pengadaan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) non fisik yang belum optimal. Pengadaan juga masih ditemukan adanya pemberikan makanan tambahan yang tidak sesuai dengan kebutuhan akibat kurangnya analisis kebutuhan. Sementara dalam aspek pengawasan, pada program pengurunan kasus stunting ditemukan beberapa masalah, salah satunya adalah belum tersedianya pedoman teknis dalam melakukan audit atau pengawasan khusus dalam pelaksanaan program tersebut.
Mitigasi Risiko Korupsi Program quick win
Situasi diatas seharusnya membuka peluang bagi Presiden Prabowo untuk menyusun strategi untuk mengurangi praktik korupsi pada program quick win. Dalam pengadaan barang/jasa, modus yang sering terjadi adalah mengkondisikan rencana pengadaan yang tujuannya penyedia lain tidak ikut dalam proses tender karena tidak memenuhi syarat. Hal demikian seharusnya dapat dihindari selama proses pengadaan dilakukan secara terbuka dan memberi kesempatan Masyarakat untuk mengawasi prosesnya. Serta memastikan pengadaan atau belanja untuk kebutuhan program terhindar dari konflik kepentingan yang justru akan memicu temuan dikemudian hari.
Guna menghindari praktik lancung para pemburu rente, Presiden Prabowo seharusnya memerintahkan pembantunya untuk membuka informasi para pemilik manfaat perusahaan (Beneficial ownership) dan mengintegrasikan data tersebut kepada data penyedia. Mengintegrasikan data bertujuan untuk memetakan risiko korupsi dan dapat terhindar dari konflik kepentingan.
Tak hanya itu, Presiden Prabowo seharusnya segera memperkuat regulasi tentang pengadaan barang/jasa publik dengan memastikan tersedianya UU Pengadaan Barang/jasa publik. Regulasi di tataran perundangan memberikan legitimasi dan aturan yang kokoh terkait pengadaan, sehingga para aktor kebijakan dapat dijatuhkan sanksi apabila tidak menuruti. Di sisi lain, aksi pengadaan yang merunduk pada kebijakan dapat diperhitungan sebagai aksi kebijakan yang berlegitimasi.
Harus digaris bawahi, bawa proses pengadaan barang dan jasa hingga saat ini masih dibawah naungan Peraturan Presiden. Pasal 9 UNCAC mengamanatkan bahwa, setiap negara berkewajiban untuk menyediakan kerangka regulasi dan sistem hukum yang menetapkan sistem pengadaan barang dan jasa publik berdasarkan prinsip transparansi, persaingan usaha yang adik dan memiliki kriteria yang objektif dalam pengambulan keputusan, agar terhindar dari praktik korupsi.
Implementasi Kontekstual untuk Pengadaan yang Sesuai
Hal yang tidak kalah penting lainnya adalah penguatan kelembagan dalam program makan bergizi gratis dengan memastikan keterlibatan masyarakat dalam penentuan target sasaran hingga pengawasan publik. Implementasi kebijakan yang efektif dapat dilakukan dengan membuat dokumen tata cara pelaksanaan program yang seragam, sehingga pengadaan barang sesuai dengan kebutuhan. Dokumen tata laksana mencakup standar gizi yang seharusnya mencakup makan sehat bergizi, serta penyatuan kualitas penyedia jasa.
Namun kami berargumen bahwa implementasi tidak hanya cukup dilakukan dengan mengikuti prosedural dan dokumen. Di dalam studi kebijakan publik, implementasi juga berarti mengikut sertakan partisipasi masyarakat dan suara ragamnya dalam menginterpertasi kebijakan, yang ditentukan juga oleh konteks mereka. Pendekatan ini memberikan ruang bagi para aktor birokrasi (mereka yang mengimplementasi kebijakan) untuk dapat implementasi kebijakan sesuai dengan konteks yang dialaminya dan juga pendapat mereka terkait bagaimana menerapkan kebijakan tersebut.
Dalam konteks MBG, kita tentu melihat banyak aktor yang suaranya diredam, bahkan tidak diikut sertakan dalam implementasi kebijakan, padahal aktor tersebut memiliki sumber daya dan kepercayaan tentang apa itu makanan yang sehat dan bergizi karena kesehariannya dalam berinteraksi dengan siswa. Mereka adalah pengelola kantin dan dapur kantin di sekolah. Tentu, masih terdapat tantangan bagi pengelola kantin untuk memberikan makanan bergizi, program MBG ini justru dapat menjadi momentum perubahan, serta penguatan kapasitas kantin.
Selain itu, ragam perspektif aktor implementasi, para pedagang kantin, juga tidak dapat diredam, mereka tahu bagaimana pola makan siswa (jam berapa harus diberikan kudapan awal dan bentuk kudapan seperti apa), penolakan siswa terhadap makanan tertentu dan bagaimana siswa berinteraksi dengan makanan. Hal ini karena pengalaman yang dimilikinya dalam berinteraksi dengan siswa selama berdagang di sekolah.
Di dalam perspektif manajerial pemerintahan dan kelembagaan, presiden juga seharusnya memerintahkan Badan Gizi Nasional untuk membuka ruang pengawasan publik agar program makan bergizi gratis dapat dinikmati oleh penerima manfaat yang tepat. Partisipasi dan suara warga dan umpan baliknya tentu menjadi bukti/ evidence tertentu terkait dengan pencapaian program tersebut. Menjadi bahan evalusi, bukti tersebut seharusnya dikumpulkan dan dikelola agar pengadaan lebih tepat sasaran, sesuai dengan kebutuhan warga dan aktor implementasi. Sehingga akhirnya, budget dapat dirampingkan, bukan dibesarkan.
Agus Sarwono, Peneliti Tata Kelola Demokrasi, Transparency International Indonesia
Amanda Tan, Mahasiswa Doktoral Kebijakan Publik, Monash University Indonesia
Artikel ini telah terbit di Harian Tempo edisi 18 Februari 2025 dengan judul Mitigasi Risiko Korupsi Program Makan Bergizi Garatis