MELAWAN NALAR PUBLIK, REVISI UU KPK HARUS DITOLAK

MELAWAN NALAR PUBLIK, REVISI UU KPK HARUS DITOLAK

Jakarta, 6 September 2019

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menyepakati pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Jika disetujui, revisi tersebut akan segera dibahas bersama dengan Pemerintah.

Kesepakatan untuk kembali merevisi UU KPK ini, terlebih di ujung masa bakti DPR 2014-2019, semakin memperlihatkan adanya upaya pelemahan kelembagaan KPK secara sistematis. Dalam Rapat Paripurna (5/9), telah disepakati empat poin revisi yang mengatur perubahan kedudukan dan kewenangan KPK.

Poin-poin revisi tersebut meliputi:
(1) Penyadapan yang dilakukan KPK harus melalui izin Dewan Pengawas KPK;
(2) Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK diawasi oleh Dewan Pengawas KPK;
(3) KPK diberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3), jika kasus tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun; dan
(4) Kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum ditempatkan sebagai cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Pegawai KPK diatur menjadi aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk sesuai peraturan perundang-undangan, dan status penyelidik serta penyidik diatur harus berasal dari institusi tertentu dengan menggunakan sistem rekrutmen sesuai institusi tersebut.

Minimnya komitmen politik pemerintah dan badan legislatif dalam memastikan independensi merupakan masalah utama mayoritas lembaga antikorupsi dimanapun. Kinerja sejumlah lembaga ini—setidaknya di sebagian besar dari 40 lembaga antikorupsi di Asia Pasifik termasuk KPK—masih terhambat akibat independensi yang tidak memadai, kapasitas kelembagaan yang lemah, dan mandat yang terbatas. Hingga saat inipun, berbagai upaya yang mengganggu independensi KPK masih terus dilakukan, termasuk dalam pemilihan pemimpin KPK yang saat ini melibatkan berbagai masalah dalam prosesnya.

Pasal 6 Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) sudah menegaskan bahwa lembaga antikorupsi harus dilengkapi dengan “independensi yang diperlukan” untuk menjalankan fungsinya secara efektif dan “bebas dari pengaruh yang tidak semestinya” serta sumber daya material, staf, dan pelatihan yang memadai. Syarat ini seharusnya dilaksanakan, mengingat Indonesia telah menjadi Negara Pihak pada UNCAC sejak ratifikasi pada 18 Desember 2003. Rendahnya komitmen ini juga diperlihatkan dari buruknya kepatuhan pelaksanaan rekomendasi UNCAC, dimana hingga saat ini Indonesia baru menyelesaikan 8 dari 32 rekomendasi yang disarankan.

Standar ini tentu juga sejalan dengan Prinsip-Prinsip Jakarta tentang Lembaga Antikorupsi (The Jakarta Principles 2012) yang mendorong Negara agar berani melindungi independensi lembaga antikorupsi. Tren serupa juga terkonfirmasi dari hasil riset pengukuran kinerja KPK (2017 & 2019) yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII). Riset tersebut memperlihatkan aspek independensi sangat perlu diperhatikan; dalam hal ini termasuk disumbang berbagai upaya pengurangan kewenangan KPK.

Transparency International Indonesia menilai seluruh substansi RUU yang diajukan DPR ini berpotensi mengancam independensi KPK. Hal-hal tersebut meliputi:

Pertama, sumber daya manusia KPK di masa depan tidak lagi mencirikan sebagai sebuah lembaga yang independen. Di dalam naskah RUU KPK, pegawai KPK dikategorikan sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada sistem di bawah kementerian yang membidangi kepegawaian (pasal 1 ayat 7). Poin revisi ini tentu tidak relevan dengan semangat penguatan lembaga antikorupsi berdasarkan mandat UNCAC maupun Prinsip-prinsip Jakarta. Ketergantungan secara institusi akan mempengaruhi KPK dalam menjalankan tugasnya.

Kedua, penyelidik hanya berasal dari Polri (pasal 43 ayat 1). Kebijakan ini tidak sejalan dengan penguatan institusi KPK untuk dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri. Padahal pegawai yang mandiri merupakan prasyarat penting yang tidak boleh diabaikan guna menciptakan penegakan hukum korupsi yang efektif. Keberadaan penyelidik dan penyidik yang berasal dari institusi lain justru dapat menimbulkan loyalitas ganda dan konflik kepentingan dalam institusi KPK.

Ketiga, penyelidik dan penyidik KPK diatur harus melalui mekanisme yang dirancang oleh institusi kepolisian dan/atau kejaksaan (pasal 43A ayat 1 huruf c dan pasal 45A ayat 1 huruf c). Faktanya selama ini KPK secara mandiri mampu menyelenggarakan rekrutmen terhadap penyelidik dan penyidik tanpa harus melalui institusi kepolisian dan kejaksaan. Bahkan KPK telah menjalin kerjasama dengan penegak hukum di negara lain terkait dengan rekrutmen penyelidik dan penyidik. Jika proses dan mekanisme pengangkatan penyelidik serta penyidik diwajibkan melalui skema institusi tersebut, maka kondisi ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan jangka panjang; sama halnya ketika banyak pihak mempersepsikan bahwa penyidik KPK haruslah berasal dari institusi penegak hukum lain.

Keempat, keberadaan Dewan Pengawas (Bab VA tentang Dewan Pengawas) dengan segala kewenangan yang diberikan dalam RUU, berpotensi mengancam proses pelaksanaan tugas penegakan hukum, baik penyidikan dan penuntutan perkara. Padahal selama ini sistem pengawasan KPK baik di internal (melalui Penasihat KPK, Kedeputian Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, dan Wadah Pegawai KPK) dan eksternal (peran Presiden, DPR RI, BPK RI, dan masyarakat serta institusi lain yang melakukan audit terhadap KPK), dapat dikatakan telah berjalan baik. Berdasarkan penelitian TII terkait, kinerja akuntabilitas dan integritas internal KPK mendapatkan skor baik (78%). Sehingga seharusnya semua stakeholders fokus pada penguatan mekanisme penguatan yang sudah ada, bukan menambah satu unit/badan tertentu.

Kelima, lembaga antikorupsi yang independen memiliki keleluasaan dalam melaksanakan segala tindakan pro-yustisia, dimana salah satunya diberikan kewenangan melakukan penyadapan tanpa izin yang tidak dimiliki institusi lain. Mekanisme ini merupakan kewenangan khusus yang diberikan untuk menanggulangi kejahatan khusus, dimana hal ini juga termasuk kewenangan untuk tidak mengeluarkan surat penetapan penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap suatu perkara. Sehingga ketentuan baru agar KPK harus meminta izin tertulis kepada Dewan Pengawas ketika akan melakukan penyadapan (pasal 12B), merupakan suatu bentuk intervensi politik yang mengganggu independensi proses penegakan hukum.

Berdasarkan semua indikasi yang telah disebutkan diatas, rumusan RUU KPK yang diajukan DPR secara nyata memperlemah kelembagaan KPK. Poin-poin revisi diatas juga telah mengabaikan fakta bahwa posisi Indonesia masih berada di tiga puluh persen negara terkorup dunia, yang dicerminkan dari stagnasi tren Indeks Persepsi Korupsi dalam empat tahun terakhir (berturut-turut mendapatkan skor 36, 37, 37, dan 38 sejak 2015). Skor ini tentu masih jauh dari target 50 di tahun 2019 yang digagas Pemerintah bersama KPK. Faktor utama stagnasi ini terletak pada masih maraknya korupsi dalam sistem politik melalui jual beli suara, politik uang, dan kleptokrasi serta praktik suap dalam sektor bisnis/usaha. Sehingga mengurangi kewenangan KPK justru kontraproduktif dengan situasi korupsi yang dihadapi Indonesia saat ini.

Dengan mempertimbangkan penjelasan diatas, Transparency International Indonesia mendesak agar:
1. Presiden untuk menolak pembahasan revisi UU KPK dengan tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres). Presiden tidak boleh tidak tahu terhadap inisiatif revisi UU KPK ini dan sudah sepatutnya memerankan dirinya sebagai penjaga terdepan independensi KPK dengan segera memutuskan untuk tidak mengirimkan surat persetujuan Presiden ke DPR. Situasi ini semakin krusial mengingat sejak ditundanya pembahasan revisi UU KPK pada 2016 silam, pemerintah tidak melakukan kajian evaluasi yang komprehensif terhadap RUU KPK dan juga tidak melakukan sosialisasi ke masyarakat.
2. DPR untuk segera menarik revisi UU KPK yang telah disepakati. Poin-poin perubahan yang diusulkan sangat berpotensi mengurangi kewenangan dan independensi yang dimiliki KPK saat ini. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya basis kajian mendalam terhadap revisi UU KPK, yang diikuti dengan tidak adanya proses yang transparan, akuntabel dan partisipatif. Kondisi ini justru akan berdampak buruk bagi penegakan hukum korupsi di Indonesia.

Dadang Trisasongko
Sekretaris Jenderal
Transparency International Indonesia

CP: Alvin Nicola – 0857 1624 9112, anicola@ti.or.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *