Korupsi dan Ancaman Masa Depan Teluk Weda Ditengah Industrialiasi Nikel

Peneliti TI Indonesia Gita Ayu Atikah saat memaparkan hasil riset: Penguatan Pencegahan Korupsi terkait Pertambangan Nikel Tiongkok di Indonesia, Jakarta, 09/09/2025.

Jakarta, 9 September 2025. Teluk Weda telah menjadi saksi bisu industrialisasi nikel di Indonesia yang didukung oleh investasi Tiongkok melalui pembentukan Kawasan Industri Indonesia Weda Bay (IWIP). Untuk mempercepat pertumbuhan kawasan industri semacam ini, pemerintah pada 2014 mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor nikel mentah. Ini yang popular disebut sebagai hilirisasi nikel, yang pada akhirnya melahirkan kebijakan pembangunan smelter di Indonesia. Secara politik, hilirisasi nikel juga telah didapuk sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.

Transparency International Indonesia telah melakukan riset terkait hal ini untuk memetakan risiko korupsi dan kelemahan tata kelola di seluruh rantai proses penambangan dan pemrosesan nikel di Indonesia. Studi ini menggunakan alat Penilaian Risiko Korupsi Mining Awards (MACRA) untuk mengidentifikasi dan mendiagnosis risiko dalam sistem perizinan sektor pertambangan. Adapun penelitian lapangan dilakukan antara September 2024 dan April 2025. Lokasi riset ini secara khusus dilakukan pada Kawasan Industri Indonesia Weda Bay (IWIP) di Maluku Utara. Penelitian ini menggunakan studi TII tahun 2023 tentang risiko korupsi dalam penerbitan dan pengawasan izin pertambangan sebagai referensi dasar. Studi ini juga menganalisis regulasi terkait di sektor pertambangan dan industri, khususnya peta proses perizinan. Sumber tambahan mencakup penelitian tentang politik perizinan pertambangan, risiko korupsi dalam pengolahan mineral, dampak sosial-lingkungan dari pertambangan nikel, dan tren investasi Tiongkok di sektor mineral.

Dominasi Tiongkok

Mengacu pada data tahun 2023, terdapat 373 konsesi nikel yang telah mendapatkan izin hukum, administratif, teknis, finansial, dan lingkungan yang dipersyaratkan. Konsesi ini mencakup hampir satu juta hektar lahan. Diantara konsesi tersebut ada 11 perusahaan dengan pemegang saham Tiongkok yang tercatat beroperasi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Dalam proses di hulu, porsi investasi Tiongkok memang relatif kecil. Menurut aturan, investasi asing tidak diperkenankan mengajukan permohonan izin tambang, sehingga hanya diperbolehkan bekerjasama dengan perusahaan Indonesia.

Namun dalam pemrosesan hilir, kehadiran Tiongkok yang kuat terlihat jelas. Sebanyak 116 proyek peleburan (smelter) telah tercatat di seluruh Indonesia terdiri dari fasilitas yang sudah beroperasi, yang sedang dibangun, dan yang direncanakan, dengan perusahaan Cina dilaporkan mengendalikan 75% kapasitas penyulingan. Fokus hilir ini memungkinkan perusahaan-perusahaan Tiongkok mendominasi rantai pasokan mineral penting global tanpa risiko politik dan operasional yang lebih tinggi dibandingkan penambangan hulu.

Celah Regulasi dan Pengawasan

Sekretaris Jenderal TI Indonesia Danang Widoyoko dalam acara Diseminasi hasil riset: “Penguatan Pencegahan Korupsi terkait Pertambangan Nikel Tiongkok di Indonesia”, Jakarta, 09/09/2025.

Dalam beberapa kasus, perusahaan tiongkok bahkan melakukan akuisisi terhadap perusahaan-perusahaan yang telah memegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) atau yang memiliki akses ke pasokan bijih nikel. Hal ini dilakukan untuk menghindari proses perizinan yang panjang. Tindakan ini jelas mengabaikan UU Minerba dimana Kementerian ESDM tidak melakukan audit untuk melindungi kepentingan nasional. Sementara dilain pihak, pembangunan smelter hanya memerlukan izin dari Kementerian Perindustrian.

 “Pengawasan yang lemah ini mengundang kekhawatiran terkait pengawasan terhadap kepemilikan asing, transparansi dan kedaulatan sumber daya alam nasional”, ujar Danang Widoyoko, Sekretaris Jenderal TI Indonesia (9/9/25)

Pemisahan tanggung jawab di internal pemerintah menciptakan pengawasan yang terfragmentasi, terutama terkait transparansi, supervisi, dan konsistensi kebijakan antara sektor hulu dan hilir. Transparansi dilakukan terbatas karena tidak adanya data terintegrasi yang dapat diakses publik mengenai perubahan kepemilikan, volume produksi, dan sumber bijih nikel. Hal ini menyulitkan pelacakan nikel dari tambang hingga smelter dan melemahkan pengawasan publik. Pengawasan lemah karena tidak adanya sistem inspeksi terpadu antarkementerian. Sebuah smelter tetap dapat beroperasi secara legal meskipun mendapatkan bijih dari tambang yang tidak patuh tanpa terdeteksi.

Ketergantungan pada Izin Usaha Industri secara luas dipandang sebagai titik buta regulasi yang krusial. Akibatnya satu group perusahaan dapat melakukan aktivitas mulai dari penambangan, peleburan, hingga ekspor. Kelemahan pengaturan di sektor industri nikel yang ada menimbulkan kerentanan dalam menangani risiko lingkungan, ketenagakerjaan, dan geopolitik yang terkait dengan pemrosesan mineral skala besar, terutama ketika didominasi oleh aktor asing.

 Kerentanan ini meningkatkan risiko korupsi, eksploitasi berlebihan, dan ketergantungan ekonomi ketika perusahaan asing termasuk dari Tiongkok berekspansi di sektor strategis seperti nikel. Koordinasi antarkementerian yang lemah dan kurangnya mekanisme peninjauan risiko investasi strategis memperparah kesenjangan struktural ini”, ujar Gita Ayu Atikah, Peneliti Sektor Tambang, TI Indonesia.

Mandat yang terfragmentasi dan data yang tidak sinkron telah menyebabkan ambiguitas mengenai siapa yang bertanggung jawab atas izin lingkungan, pelepasan kawasan hutan, dan pemantauan kegiatan smelter berisiko tinggi. Tumpang tindih kelembagaan ini menciptakan kesenjangan tata kelola, mengurangi transparansi, dan menghambat masyarakat dan otoritas lokal dalam memperoleh kejelasan hukum atau perlindungan dari dampak pertambangan.

Dampak Sosial dan Lingkungan

Pertumbuhan industri nikel juga menimbulkan biaya sosial dan lingkungan yang signifikan. Muncul protes di antara masyarakat setempat serta perdebatan nasional tentang cara mengelola kerugian yang terkait dengan industri ini. Ekspansi pertambangan nikel sudah jelas menyumbang deforestasi yang menimbulkan masalah bagi mata pencaharian lokal, polusi air dan udara telah menimbulkan masalah kesehatan.

Pada medio 2025 yang lalu Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako juga mengungkap adanya pencemaran di Teluk Weda yang menemukan kandungan logam berat mercuri dan arsenik pada ikan dan darah warga yang bermukim di area industri tersebut. Walaupun perusahaan menyatakan menaati kewajiban perlindungan lingkungan, tapi bukti yang ditemukan justru menguatkan dugaan timbulnya dampak negatif bagi warga dan lingkungan.

Sejak awal warga menilai proses konsultasi dengan perusahaan kerap merugikan kepentingan warga baik terkait negosiasi lahan maupun dalam mendapatkan kompensasi yang adil. Apalagi dalam proses ini keterlibatan aparat keamanan negara (polisi) pengamanan internal perusahaan kerap menimbulkan ketakutan bagi warga. Pengalaman buruk di masyarakat setempat menyoroti pentingnya tata kelola yang berfokus pada potensi kerugian yang terkait dengan industrialisasi nikel. Tingginya biaya sosial dan lingkungan pada gilirannya menimbulkan kekhawatiran tentang risiko korupsi terkait tata kelola sektor sumber daya alam Indonesia secara luas, terutama terkait penerbitan izin pertambangan.

 Seruan

TI Indonesia menilai bahwa pemerintah perlu menetapkan mekanisme audit terhadap semua akuisisi perusahaan pertambangan Indonesia oleh entitas asing, terutama di sektor strategis seperti nikel. Mekanisme ini harus mencakup penilaian risiko geopolitik, verifikasi kepemilikan manfaat, dan pemeriksaan integritas untuk mengevaluasi potensi ancaman keamanan nasional, mencegah penghindaran regulasi melalui struktur perusahaan nominee atau berlapis, dan memastikan bahwa pengalihan tersebut tidak melemahkan kendali kedaulatan Indonesia atas sumber daya mineral kritisnya. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan, diantaranya mewajibkan pengungkapan publik terhadap perusahaan, audit lingkungan secara independen hingga sanksi yang tegas jika terjadi pelanggaran.

Bagi investor/perusahaan perlu dipastikan patuh terhadap kewajiban untuk mengungkapkan struktur kepemilikan manfaat secara transparan melalui sistem yang terbuka (MODI). Perusahaan juga perlu memperbaiki mekanisme pelibatan warga sekitar tambang, termasuk masyarakat adat. Termasuk memastikan perlakuan yang adil bagi pekerja asing dan lokal. Penerapan mekanisme kepatuhan internal yang selaras dengan standar ESG. Mewajibkan uji tuntas hak asasi manusia dan mempublikasikan audit AMDAL.

Warga lokal dan kelompok masyarakat sipil secara terus menerus memantau proses perizinan dan akuisisi yang melibatkan perusahaan asing dengan penuh kewaspadaan. Penguatan di level warga dengan mempromosikan literasi hukum dan pelatihan FPIC bagi masyarakat lokal untuk memperkuat perlindungan hak atas tanah dan lingkungan.

CP; Gita Ayu Atikah (gatikah@ti.or.id), Peneliti Sektor Tambang TI Indonesia

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved