Kajian Valuasi Potensi Kerugian Ekonomi dan Ekologi Proyek Rempang Eco City Dipresentasikan di Konferensi Internasional di NUS Singapura

Singapura – Selasa, 2 September 2025, Solidaritas Nasional untuk Warga Pulau Rempang yang menjadi korban dari Proyek Rempang Eco City mendiseminasikan hasil kajian terbarunya tentang Valuasi Potensi Kerugian Ekonomi akibat Proyek Rempang Eco City dalam Seminar Internasional Urban Geologi di National University of Singapore (NUS).    Dalam forum akademik internasional bertajuk Theorizing Critical Urban Geology through/from Southeast  Asia yang diselenggarakan Asia Research Institute (ARI-NUS), Susan Herawati, Sekretaris Jenderal   Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang juga menjadi perwakilan dari Solidaritas  Nasional untuk Warga Pulau Rempang memaparkan data, cerita, dan kegelisahan masyarakat pesisir Rempang. Ia menyebut proyek Rempang Eco City sebagai bentuk state-facilitated ocean grabbing atau perampasan laut dan daratan yang difasilitasi oleh negara.

Tidak sendirian, Susan hadir dalam forum akademik ini bersama tim riset dari Transparency International Indonesia (TI Indonesia) dan Trend Asia yang secara kolektif mengadvokasi tentang dampak ekologis, sosial, dan ekonomi dari proyek Rempang Eco City. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa isu Rempang tidak hanya menjadi perhatian lokal, melainkan juga telah mendapat dukungan luas dari organisasi masyarakat sipil di tingkat Internasional.

Sempat dimasukkan dalam daftar Proyek Strategis Nasional pada 2023, Rempang Eco City digadang sebagai kawasan industri, jasa, dan pariwisata modern. Pemerintah pusat kemudian memberi mandat kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) serta PT Makmur Elok Graha (MEG), anak usaha dari Artha Graha Group milik pengusaha Tommy Winata, untuk mengembangkan 8.142 hektar lahan di Pulau Rempang. PT MEG juga sempat mengklaim bahwa telah menggandeng Xinyi Group, perusahaan asal Tiongkok, dengan investasi yang mencapai Rp175 triliun untuk pengembangan Kawasan Industri (KI) ramah lingkungan di kawasan Pulau Rempang.

Namun, di balik angka-angka fantastis itu, Solidaritas Nasional menegaskan bahwa proyek ini bertentangan dengan Undang Undang No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Proyek dikhawatirkan akan merusak hutan, mangrove, padang lamun, lahan pertanian, budidaya rumput laut, serta wilayahmtangkap nelayan.

Nilai yang Tak Tergantikan 

Dokumentasi: Paparan Hasil Kajian Valuasi Potensi Kerugian Ekonomi dan Ekologi dari Solidaritas Nasional untuk Warga Pulau Rempang di NUS Singapura

Dalam sesi presentasi, Solidaritas Nasional untuk Rempang yang diwakili Susan Herawati, Sekjen KIARA memaparkan hasil kajian valuasi ekonomi dan ekologi. Riset menunjukkan bahwa rumah tangga nelayan Rempang rata-rata memperoleh pendapatan Rp32,7 juta per bulan dari aktivitas perikanan, budidaya, dan pertanian. Ekosistem mangrove juga memberi nilai miliaran rupiah setiap tahun untuk fungsi perlindungan pantai dari abrasi, mencegah intrusi air laut, serta menjadi tempat pemijahan biota laut.

Namun, jika proyek Eco City dipaksakan, kerugian lingkungan yang harus ditanggung warga diproyeksikan mencapai Rp1,3 miliar per rumah tangga per tahun, nilai ini tiga kali lipat lebih besar dibanding pendapatan mereka. “Artinya, warga Rempang akan dipaksa membayar harga yang jauh lebih mahal dibanding janji kesejahteraan yang ditawarkan,” kata Susan.  “Rempang Eco City bukan hanya proyek pembangunan. Ini adalah ujian, apakah negara berpihak pada investasi atau pada rakyatnya sendiri? Suara dari pulau kecil ini adalah suara yang mempertaruhkan masa depan,” lanjutnya.

Isu Global dari Pulau Kecil 

Dengan menghadirkan kajian ilmiah di forum akademik internasional, tim Solidaritas Nasional ingin menegaskan bahwa isu Rempang adalah isu global, bagaimana masyarakat pesisir di Asia Tenggara berhadapan dengan ekspansi megaproyek yang kerap menjanjikan kemajuan, tetapi meninggalkan jejak kerusakan. Di Singapura, suara dari Rempang kembali menemukan gaungnya.

“Kejadian di Rempang adalah cermin dari bagaimana kebijakan pembangunan seringkali menyingkirkan komunitas pesisir. Suara mereka harus sampai ke ruang-ruang pengambilan keputusan, termasuk forum akademik internasional seperti ini,” ujar Bagus Pradana dari TI Indonesia yang turut hadir dalam agenda seminar internasional tersebut.

Hal yang sama juga disepakati oleh Zakki Amali, Manajer Riset dari Trend Asia yang menegaskan bahwa Rempang seharusnya menjadi alarm bagi negara-negara di kawasan.  “Kita sedang menyaksikan bagaimana logika pembangunan yang hanya mengejar investasi justru mengorbankan ekosistem rapuh dan komunitas yang bergantung padanya. Rempang bukan kasus Tunggal, ia adalah potret bagaimana megaproyek dapat menjadi ancaman kolektif bagi masa depan masyarakat pesisir Asia Tenggara,” pungkas Zakki Amali.

Melalui forum di Singapura ini, Solidaritas Nasional untuk Warga Pulau Rempang ingin menegaskan bahwa perjuangan masyarakat pesisir Rempang adalah bagian dari perjuangan yang lebih luas di Asia Tenggara: mempertahankan ruang hidup, keadilan ekologis, dan masa depan komunitas dari gempuran megaproyek yang seringkali mengabaikan keberlanjutan. Suara dari pulau kecil ini kini menggema ke panggung internasional, menjadi pengingat bahwa pembangunan sejati harus berpihak pada rakyat dan alam, bukan semata pada logika investasi.

 

Narahubung:

  • Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  • Trend Asia
  • Transparency International Indonesia

 

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved