
TAKALAR, 25 Agustus 2025 – Warga Desa Laikang secara tegas menolak rencana pembangunan Kawasan Industri Takalar setelah audit sosial mengungkap minimnya transparansi. Forum warga bertajuk “Diseminasi Riset Audit Sosial Kawasan Industri Takalar” ini digelar Transparency International Indonesia bersama PB HIPERMATA di PPLH Puntondo Desa Laikang Kabupaten Takalar.
Audit sosial dengan metode Citizen Score Card (CSC) melibatkan warga dari Desa Laikang. Hasilnya, masyarakat sejak awal hanya diberi informasi soal pabrik jagung dan rumput laut. Namun data audit menemukan agenda lebih besar: smelter nikel dan perakitan mobil listrik.
Ketua Umum PB HIPERMATA, Muhammad Nasrum, S.Kel, menegaskan bahwa audit sosial ini adalah upaya agar suara warga benar-benar diperhitungkan. “Kami tidak akan menutup suara jika sudah ada data di tangan. Audit sosial ini adalah cara kami memastikan bahwa suara warga terdengar dan punya dasar untuk diperjuangkan. Kami ingin pembangunan di Takalar tidak mengorbankan masyarakat pesisir,” ujarnya.
Fakta tersebut akhirnya diakui oleh Bappeda Takalar di tengah forum. Pengakuan itu seketika disambut reaksi keras warga yang bersahut-sahutan, “Nah kan!”, menandakan kecurigaan mereka selama ini terbukti benar.
Suara penolakan paling lantang datang dari kelompok pemuda. Siswanto, salah satu perwakilan, menuturkan kekecewaannya karena sejak awal warga hanya dijanjikan industri pangan. “Yang dibahas hanya pabrik jagung dan rumput laut, tapi nyatanya banyak pabrik lain termasuk smelter dan mobil listrik. Maka dari itu kami tegas menolak pembangunan kawasan industri di desa kami,” katanya.
Sementara itu, pejabat pemerintah yang hadir memberikan pandangan beragam. Kabid Sarana dan Prasarana Perindustrian Takalar menilai masyarakat seharusnya melihat dari dua sisi. “Jangan hanya melirik dampak sosialnya saja, dampak ekonomi juga penting untuk kita perhatikan. Namun perlu kita ketahui bahwa pemerintah hanyalah pekerja teknis,” ujarnya.
Di sisi lain, Kepala Desa Laikang, Nursalim dg Lingka, memilih posisi berhati-hati. “Sebagai kepala desa perlu saya ingatkan bahwa ada batasan-batasan bagi saya dalam isu ini, bukan mendukung, bukan juga menolak. Saya berdiri di tengah-tengah, kita sama-sama cari solusi. Jika saya tidak berpihak pada proyek ini, takutnya saya berpengaruh pada jabatan saya,” tuturnya.
Adapun Kabid Pemberdayaan Nelayan DKP Takalar, Syamsuddin Serang, S.Pi, menekankan pentingnya keseimbangan antara industri dan sektor pesisir. “Jika ada sesuatu yang kita buat harusnya dilanjutkan untuk dilaksanakan secara beriringan agar semuanya jalan, baik industri maupun budidaya rumput laut dan lainnya,” jelasnya.
Sikap paling tegas datang dari parlemen. Muhammad Ibrahim Bakri, S.Pi, anggota DPRD Takalar, menegaskan dirinya berdiri bersama warga. “Saya lantang menyuarakan bahwa saya berpihak dan mendukung warga. Warga punya hak untuk bersuara. Jika memang ini sesuatu yang tidak baik untuk ke depannya, kenapa kita harus dukung? Jika kawasan ini diadakan, ini akan menimbulkan dampak pada perubahan budaya di desa kita,” ucapnya.
Forum ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, antara lain anggota DPRD Takalar, Camat Mangarabombang, ATR/BPN Takalar, Dinas Perindustrian, Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Desa Laikang, Ketua BPD Laikang, para kepala dusun, dan tokoh masyarakat setempat.
Sementara itu, PT Tiran, penggagas kawasan industri, tidak hadir meski telah diundang.
Sebagai penutup, warga Desa Laikang secara bulat menyatakan sikap menolak pembangunan Kawasan Industri Takalar. Audit sosial ini sekaligus menjadi bukti dan dokumentasi suara warga, agar aspirasi mereka tidak lagi diabaikan dalam setiap kebijakan pembangunan. (*)
Number: Sekilas Indonesia