Dari Warga untuk Sumatra: Seni Melawan Deforestasi

Seniman dan Kelompok Masyarakat Sipil Mendesak Penetapan Bencana Nasional bagi Korban Banjir & Longsor Sumatra

Jakarta, 10 Desember 2025 – Sembilan band, artis ternama, dan kelompok masyarakat sipil menyampaikan duka cita mendalam bagi para korban serta keluarga korban bencana di Sumatra. Ironisnya, meski bencana ini telah menelan 969 jiwa meninggal dunia, lebih dari 5 ribu orang terluka, 262 orang hilang dengan 157,9 ribu rumah dan ribuan fasilitas umum rusak[1], Presiden Prabowo Subianto masih enggan menetapkan status bencana nasional.

Bencana ekologis yang melanda Sumatra adalah bukti bahwa pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya alam telah mencapai titik buntu. Dalam kurun waktu 2013-2022, analisis WALHI menunjukkan Indonesia telah kehilangan 4,5 juta hektar hutan,[2] sementara total kehilangan tutupan hutan alam sejak 2001 mencapai 15 juta hektar,[3] dan Sumatra menjadi salah satu episentrum laju deforestasi tersebut.[4] Selama periode 2014 hingga 2024 saja, Walhi mencatat telah kehilangan seluas 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat yang hari ini terdampak bencana ekologis.

Ekspansi industri ekstraktif ini semakin memperburuk keadaan dengan pemberian 7,9 juta hektar konsesi lahan kepada korporasi. Situasi ini diperparah oleh konflik kepentingan, sekitar 60% anggota DPR memiliki afiliasi bisnis di sektor sawit dan tambang. Beberapa pejabat, purnawirawan, dan elite politik juga menjadi pemilik atau komisaris di perusahaan ekstraktif yang beroperasi di area rawan ekologis, termasuk Sumatra. Tentu saja, dari sistem yang kotor ini berdampak pada kriminalisasi warga yang mempertahankan ruang hidupnya hingga menghilangkan ruang hidup manusia dan satwa. Maka, dalam konteks ini, bencana ekologis di Sumatra bukanlah semata bencana alam yang datang karena curah hujan tetapi akibat krisis tata kelola ruang, pembiaran korupsi sistemik, krisis HAM dan krisis keadilan ekologis.

“Kami tampil dalam konser Dari Warga untuk Sumatra karena percaya bahwa suara publik harus hadir ketika negara gagal melindungi warganya. Musik memang tidak bisa secara langsung menghentikan bencana, mengubah kebijakan yang buruk, tetapi musik bisa membuka ruang kepedulian, solidaritas, dan mengajak lebih banyak orang untuk bertindak. Dengan dorongan inilah, kita berharap bencana di Sumatra segera ditetapkan sebagai bencana nasional.”, ujar Egi Virgiawan.

“Kami mendesak Presiden Prabowo untuk segera menetapkan status penanganan korban banjirlongsor Sumatra sebagai bencana nasional untuk mengurangi korban dan derita yang lebih panjang akibat lambannya operasi penanganan bencana saat ini. Di saat seperti ini, pemerintah harus mengutamakan keselamatan rakyatnya di atas kepentingan proyek dan program yang selama ini mendapat banyak alokasi anggaran,” ujar Ferdian Yazid, Manager of Natural Resources and Economic Governance TI Indonesia

 “Sumatra sudah kehilangan hampir seluruh hutan hujan dataran rendahnya. Di pegunungan pun dalam 10 tahun terakhir deforestasi masif juga telah menghancurkan daerah-daerah tangkapan air. Bencana ekologis dengan korban terbanyak yang terjadi saat ini di Sumatera adalah manifestasi kerakusan pola pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan industri ekstraktif, yang diperburuk oleh praktik-praktik korupsi yang masif di semua lini tata kelola. Ini seharusnya menjadi peringatan terakhir bagi pemerintah Presiden Prabowo dan aktor-aktor oligarki bisnis dan politik yang mendukungnya, karena bencana semacam ini akan terus berulang, dengan dampak yang semakin parah, bila tidak dilakukan perubahan fundamental dalam tata kelola ekonomi dan lingkungan kita”, tegas Leonard Simanjuntak, Country Director for Indonesia Greenpeace.

Melihat kondisi tersebut, sembilan artis dan band ternama Indonesia sepakat tampil profesional tanpa dibayar (pro bono) di konser Dari Warga untuk Sumatra. Mereka adalah Black Horses, Egi Virgiawan, Negatifa, Rumah Sakit, So Called Wrap, Syifasativa, Teddy Adhitya, Usman and The

Blackstones feat Gugun & Blues Shelter, dan Yacko. Selain itu, akan ada lelang barang Hindia, Swellow, Barasuara, The Brandals, Jimi Multhazam, Arian13, Diela Maharani, Komikazer, White Shoes and the Couples Company, dan Indische Party.

Konser Dari Warga untuk Sumatra difasilitasi oleh M Bloc Foundation akan diadakan di venue M Bloc Live House, Jakarta Selatan pada Rabu, 10 Desember 2025, pukul 17.00 – 22.00 WIB bertepatan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia. Tiket seharga Rp 100.000,- dapat dibeli melalui loket.com atau dengan tautan bit.ly/dariwargauntuksumatra dan hasil penjualannya akan disalurkan kepada korban bencana melalui kitabisa.com.

Selain dari band-band yang tampil pro bono, dukungan dari para relawan untuk konser ini terbilang luar biasa. Meliputi para kru band, kru acara, kru venue, lighting designer, vendor konser, Kitabisa.com dan organisasi masyarakat sipil, Greenpeace Indonesia, Amnesty International Indonesia, WALHI, YLBHI, Kopernik, Transparency International Indonesia, Migrant Care, Public Virtue, Trend Asia dan Watchdoc.

“Kami yakin bencana yang terjadi di Sumatra bukan semata karena curah hujan tinggi, tetapi krisis iklim yang parah akibat gagalnya pemerintah mengurus negara. Konser ini adalah cara kami berdiri bersama para korban dan keluarga korban untuk menuntut pemerintah lebih bertanggung jawab. Tetapkan bencana Sumatra sebagai bencana nasional sekarang!, tegas Black Horses.

“Pembakaran dan pembabatan hutan yang mencemari dan merusak lingkungan di Sumatra adalah bentuk kejahatan ekosida yang tidak hanya menghancurkan keanekaragaman hayati, tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat lokal dan global terutama dari krisis iklim. Ini adalah kejahatan terhadap alam, satwa, dan kemanusiaan yang harus dihentikan segera. Stop deforestasi.”, tegas Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

Kami mendesak Presiden RI, Prabowo Subianto segera menetapkan status bencana di Sumatra sebagai bencana nasional. Mengingat, banyaknya korban meninggal, luka dan hilang, bahkan kematian akibat kelaparan yang disebabkan oleh terputusnya akses untuk distribusi bantuan serta  ketersediaan air bersih. Negara harus lebih responsif dalam menjalankan tugasnya sebagai pengurus negara.

Kami juga mendesak negara harus mengubah pola pembangunan yang berbasis ekstraktif. Jika pendekatan destruktif ini masih dipertahankan, bukan hanya Sumatra yang akan hancur oleh bencana, tetapi provinsi-provinsi lain yang telah ditanami ribuan izin sawit dan tambang pun akan menyusul menjadi korban.

Kami yakin, di tengah krisis yang kompleks ini, solidaritas publik menjadi kekuatan paling penting. Setiap dukungan, sekecil apa pun, berarti bagi keselamatan warga, keberlangsungan ekologi, dan masa depan ruang hidup yang lebih adil.

Bersama kita kuat, bersama kita pulih.

Narahubung: Firda Amalia (0813‑1669‑4042)
Instagram: @mblocspace

[1] Data BNPB per 10 Desember 2025 pukul 11.49 WIB
[2] Analisis WALHI, Katadata
[3] Hutan Indonesia, Greenpeace
[4] Persoalan Deforestasi di Indonesia: Sebuah Polemik Berkelanjutan

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved