Aksi Pencegahan Korupsi 2025-2026 Disahkan: Penuh Selebrasi, Basa-Basi dan Tunduk Pada Agenda Oligarki

ILUSTRASI

Jakarta, 27 Februari 2025 – Pada 12 Februari 2025 lalu, Tim Nasional Pencegahan Korupsi (Timnas PK) kembali menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penetapan Aksi Pencegahan Korupsi (Aksi PK) 2025-2026. Pada dua tahun mendatang, Aksi PK diklaim akan memuat 15 aksi strategis yang mencakup tiga fokus utama Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018, yaitu perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi.

Transparency International Indonesia (TII) menyayangkan bahwa keputusan untuk mengesahkan Aksi PK 2025-2026 masih dilakukan secara prematur, tidak tepat sasaran, serta tanpa partisipasi publik yang memadai. Pernyataan resmi Timnas PK bahwa keberhasilan dalam pencegahan korupsi tercermin dari peningkatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia juga patut ditinjau ulang.

Pertama, amat sulit mengukur dampak kontributif dari Stranas PK terhadap peningkatan kenaikan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2023. Rilis resmi Stranas PK dalam artikel “Upaya Stranas PK Menyumbang Peningkatan IPK Indonesia” (14/2/2025) juga bukan hanya berbahaya karena salah mencatut pernyataan yang disampaikan Ketua KPK Setyo Budianto, namun juga tidak tepat secara substansi. Hingga saat ini, belum ada kajian ilmiah dan terukur yang mampu memotret dampak dari pelaksanaan Aksi PK sejak 2018 terhadap peningkatan skor IPK. Kenaikan skor IPK 2024justru lebih banyak disumbangkan dari penambahan satu indikator World Economic Forum yang selama dua tahun sebelumnya absen dari pengukuran.

Sebaliknya, studi evaluasi dampak (2023) yang dipublikasikan oleh TII justru melihat kehadiran Stranas PK yang sebelumnya diharapkan mampu mendorong pendekatan pencegahan korupsi yang lebih terfokus, terukur dan berdampak, justru belum membuahkan hasil yang signifikan. Aksi PK yang telah dijalankan masih membutuhkan upaya lebih keras untuk mencapai tingkat dampak (impact), cenderung tidak berorientasi pada penerima manfaat akhir, dan sebagai akibatnya menjadi terisolasi dalam agenda setting kebijakan yang tertutup.

Kedua, Aksi PK yang disepakati masih cenderung tidak tepat sasaran. Ketua KPK Setyo Budiyanto sebelumnya menyampaikan bahwa aksi-aksi yang disepakati merupakan hasil evaluasi dan pengembangan dari pelaksanaan Aksi PK 2023-2024. Namun TII melihat intervensi di dalam Aksi PK 2025-2026 masih terjebak pada wilayah praktik korupsi kecil yang pendekatannya administratif; alih-alih secara serius mengintervensi kebutuhan utama pencegahan korupsi di Indonesia yaitu pencegahan korupsi politik dan korupsi besar.

Selama intervensi Aksi PK tidak diarahkan untuk memperkuat upaya penguatan demokratisasi dan check and balances, supremasi hukum dan partisipasi publik secara serius; selama itu pula pencegahan korupsi akan gagal berhadapan dengan kekuataan dan konsolidasi elit politik-bisnis yang semakin hari semakin berpengaruh. Akibat desain Aksi PK masih penuh dengan selebrasi dan basa-basi, agenda pencegahan korupsi akan terus tunduk pada agenda elit-oligarkis karena tak mampu membendung terus berlangsungnya upaya akumulasi kekuasaan (power accumulation) dan perluasan kekuasaan (power extension).

Ketiga, kedua masalah di atas bersumber dari minimnya Stranas PK melibatkan publik. Pada kenyataannya, ruang keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, monitoring dan evaluasi Aksi PK masih amat bersifat parsial dan belum memiliki mekanisme yang jelas sesuai mandat Perpres 54 tahun 2018 Pasal 9 tentang pelibatan peran dan pemangku kepentingannya.

Secara khusus, proses penyusunan rencana Aksi 2025-2026 dapat dikatakan tidak bermakna dalam melibatkan organisasi masyarakat sipil. Sinergi dan kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil sebagaimana yang dituangkan secara resmi dalam Laporan Pelaksanaan Triwulan VIII 2023-2024 justru menjadi semakin jauh lantaran komunikasi yang terbuka dan partisipatif tidak banyak dilakukan oleh Timnas PK.

Oleh karena itu, agar Stranas PK tidak terjebak dalam stagnasi, TII kembali mengingatkan Pemerintah untuk meninjau ulang peluang merevisi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) untuk:

  • Memperkuat kesesuaiannya dengan kerangka pencegahan korupsi dari hasil review pelaksanaan UNCAC dan The Kuala Lumpur Statement, serta korelasinya dengan Indeks Persepsi Korupsi;
  • Membangun kerangka intervensi yang secara serius lebih fokus menyentuh korupsi politik dengan memperkuat upaya penguatan demokratisasi dan check and balances, supremasi hukum dan partisipasi publik, diikuti dengan mempromosikan sistem monitoring dan evaluasi yang empirik berbasis dampak;
  • Melibatkan para pemangku kepentingan di bidang hukum, terutama Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, untuk memimpin jalannya koordinasi dan tugas yang terkait langsung dengan bidang reformasi hukum dan politik. Keberadaan KPK yang saat ini di bawah rumpun kekuasaan eksekutif menjadi cenderung tidak ideal, akibat juga memiliki fungsi menjalankan dan mengevaluasi Aksi PK;
  • Menetapkan mekanisme dan standar operasional prosedur (SOP) yang jelas tentang bentuk pelibatan organisasi masyarakat sipil, dari perencanaan hingga implementasi, monitoring, dan evaluasi. Sinergi ini dalam mengambil bentuk ‘ko-kreasi’, bahkan dapat memasukkan tambahan keanggotaan Timnas PK dari unsur masyarakat sipil agar memastikan proses pengambilan keputusan dilaksanakan secara terbuka, akuntabel, partisipatif dan inklusif.

Narahubung:
Media TI Indonesia: +62 811-8869-711

 

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved