
Semarang, 26 November 2025. Kelompok Bidang Keahlian (KBK) Birokrasi dan Pemerintahan, Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro bekerja sama dengan Transparency International Indonesia (TI Indonesia) menggelar diskusi publik bertajuk “Demokrasi, Kebijakan, dan Masa Depan Ruang Sipil” pada Rabu, 26 November 2025, di Ruang Pusat Kegiatan Mahasiswa, Gedung D FISIP Undip. Kegiatan ini diawali dengan penandatangan MoU antara FISIP Universitas Diponegoro dengan TI Indonesia. Acara yang berlangsung selama tiga jam ini menghadirkan sivitas akademik, masyarakat, serta jurnalis media massa, dan menjadi ajang diskusi kritis mengenai dinamika demokrasi dan tantangan ruang sipil di tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto. Diskusi yang di hadiri lebih dari 180 mahasiswa dari berbagai program studi ini menyoroti terutama soal potensi titik-titik baru korupsi, yang mulai bermunculan di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pada kesempatan ini, Dekan FISIP Undip, Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin, dalam sambutannya menegaskan pentingnya peran kampus sebagai ruang dialog akademik agar tetap relevan dengan perubahan zaman. “Diskusi seperti ini penting agar masyarakat, terutama mahasiswa, dapat membaca kondisi politik secara lebih jernih,” ujarnya.

Sesi diskusi dimulai dengan paparan Danang Widoyoko, Ph.D selaku Sekretaris Jenderal TI Indonesia, yang menekankan perlunya pendekatan baru dalam pemberantasan korupsi. Menurutnya, kita tidak bisa menerima, ketika para pejabat terus menerus menyuarakan statement antikorupsi, tetapi di saat bersamaan mengelola pemerintahan dengan menjalankan praktik partikularism terhadap proyek-proyek publik ke orang-orang sekitarnya. Karakteristik partikularism di antaranya distribusi barang publik berdasarkan keanggotaan kelompok atau koneksi, pengaruh dan status menjadi modal utama, dan korupsi bersifat sistemik yang diterima secara sosial.
Danang mencontohkan sejumlah kebijakan pada tahun pertama pemerintahan Prabowo yang dinilai rentan terhadap praktik partikularism. Program Makan Bergizi Gratis, misalnya, melibatkan banyak kader partai dalam implementasinya sehingga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Ia juga menyinggung alokasi anggaran pertahanan yang sangat besar dengan mekanisme tender tertutup, yang menurutnya memberi peluang terjadinya pemburuan rente. Selain itu, pembentukan 80.000 Koperasi Merah Putih juga dianggap tumpang tindih dengan lembaga koperasi yang sudah ada, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas serta motif dari kebijakan tersebut. “Pemerintah hari ini fokus pada penindakan korupsi melalui aparat hukum, tetapi tidak mendorong terjadinya norma baru dalam pemberantasan korupsi,” kata Danang.

Pembicara kedua, Dr. Kushandajani, M.S., dosen FISIP Undip, memberikan penekanan pada ruang sipil saat ini. Di tingkat praksis, ruang sipil belum sepenuhnya aman karena masih muncul ancaman berupa serangan digital, kriminalisasi, maupun tekanan politik terhadap kelompok masyarakat sipil. Kushandajani menilai bahwa demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses panjang yang memerlukan komitmen menjaga kebebasan berpendapat dan partisipasi warga negara. Ia menekankan pentingnya pendidikan dan media sebagai penopang utama ruang sipil yang sehat dan kritis.
Sementara itu, Zakki Amali, Manajer Riset Trendasia.org, mengulas dinamika ekonomi-politik pada pemerintahan saat ini. Ia menyebut orientasi kebijakan ekonomi Indonesia cenderung kembali pada corak ekonomi komando dengan sentralisasi di tangan pemerintah pusat. Model tersebut, menurut Zakki, tidak menyentuh akar persoalan dan hanya menciptakan siklus legitimasi baru bagi kekuasaan. Ia melihat kebijakan pemerintah tidak jarang berfungsi sebagai alat pembenaran formal, dengan memberikan pengecualian tertentu yang membuka celah bagi elite politik. Zakki menilai bahwa tahun pertama pemerintahan Prabowo menggambarkan ambisi jangka pendek yang terfokus pada program Makan Bergizi Gratis dan penguatan militerisme. Menurutnya, arah kebijakan tersebut menunjukkan upaya membangun struktur kekuasaan baru yang menyerupai formasi lama ABG (ABRI, Birokrat, Golkar), kini melalui TNI, Badan Gizi Nasional, dan Gerindra.

Selain sesi diskusi, pada hari yang sama juga diselenggarakan “Pelatihan Investigasi dan Pemetaan Aktor Korupsi”. Pelatihan selama tiga jam ini diikuti oleh 36 mahasiswa dari 6 perguruan tinggi, yakni Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Semarang (USM), Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, dan UIN Salatiga.
Sebagai pamapar awal, Danang Widoyoko, memberikan landasan basic dalam memahami persoalan korupsi dari berbagai sisi. Pemetaan tentang tipe-tipe korupsi, baik yang di atur undang-undang, hingga yang tersamarkan oleh norma sosial dibedah dengan bernas dan mudah dipahami. Ia juga memberikan pengantar tentang instrumen Corruption Perceptions Indeks (CPI), yang merupakan instrumen paling populer yang dipakai oleh jejaring antikorupsi global sebagai mekanisme pengukuran korupsi di berbagai negara.
Sesi berikutnya dilanjutkan oleh Bagus Pradana, MRDM, peneliti TII, yang mengajarkan pemetaan tentang Beneficial Ownership (BO). Sesi ini merupakan sesi yang paling seru, dimana para peserta melakukan praktik langsung untuk membongkar siapa orang di balik sebuah perusahaan. “Kadang, jika ada perusahaan yang mencemari lingkungan atau merusak suatu wilayah, kita tidak tahu siapa orang dibaliknya, karena seringkali saham-sahamnya di miliki oleh PT-PT juga. Nah, dengan analisis Beneficial Ownership (BO) kita bisa dapetkan nama orang, bukan sekadar nama PT. Kita bisa temukan nama pejabat, pengusaha, bahkan tokoh-tokoh agama ternyata terlibat dibalik perusahaan bermasalah”, ujar Bagus dalam sesi pelatihan.
Peserta di bagi menjadi 4 kelompok, dan masing-masing saling berlomba untuk menemukan nama orang paling berpengaruh di masing-masing perusahaan. Suasana pelatihan sangat riuh, karena masing-masing kelompok kadang menemukan hasil yang berbeda. Pelatihan ini mirip sekali dengan proses menemukan jarum dalam jerami, dimana butuh kejelian dan ketelitian untuk menemukan siapa yang ada di balik “cangkang” sebuah perusahaan, bahkan mengihitung berapa prosentase kepemilikannya.
Di akhir sesi, Lisda BR Girsang, mahasiswi dari Fakultas Hukum, Universitas Semarang (USM) menilai pelatihan semacam ini sangatlah penting dan bermanfaat bagi para mahasiswa, khususnya untuk mengoptimalkan peran mahasiswa sebagai agen perubahan. “Cuma kalau bisa, ke depan daya tampungnya bisa lebih besar, banyak sekali teman saya yang tidak lolos. Saya memang merasa beruntung, tapi juga tidak enak dengan teman-teman yang tidak lolos”, ujar Lisda dengan penuh harapan.
CP : Bagus Pradana (bpradana@ti.or.id)