Vitoria-Gasteiz, Spanyol / Jakarta, Indonesia — 7 Oktober 2025
Transparency International Indonesia (TII) menilai bahwa komitmen Pemerintah Indonesia terhadap gerakan Open Government Partnership (OGP) saat ini kehilangan maknanya di tengah memburuknya kondisi demokrasi, menyempitnya ruang sipil, dan meningkatnya praktik korupsi. Seruan ini disampaikan dalam momentum OGP Global Summit 2025 di Vitoria-Gasteiz, Spanyol, di mana sekitar lebih dari 2000 pemimpin pemerintahan dan masyarakat sipil dari seluruh dunia berkumpul untuk meninjau kembali arah gerakan pemerintahan terbuka.
Ruang Sipil yang Menyempit, Keterbukaan yang Melemah
Dalam pernyataannya, TII menyoroti kontradiksi antara komitmen formal Indonesia di panggung global dan praktik nyata di dalam negeri. Di tengah menguatnya kontrol politik, pembatasan kebebasan berekspresi, serta meningkatnya intimidasi terhadap pembela HAM dan organisasi masyarakat sipil, pemerintah dinilai tidak melakukan cukup upaya untuk melindungi ruang sipil dan iklim partisipasi yang sehat.
Laporan terbaru Varieties of Democracy (V-Dem) menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia semakin jarang berkonsultasi dengan warganya, dan justru lebih sering mendengar segelintir kelompok berpengaruh. Kondisi ini memperkuat kesan bahwa prinsip co-creation yang menjadi inti OGP telah kehilangan ruhnya.
“Pemerintah Indonesia tidak bisa terus menepuk dada sebagai anggota OGP ketika di saat yang sama ruang sipil terus menyempit.” ujar Alvin Nicola, Program Manager Transparency International Indonesia.
Dalam konteks yang sama, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam pemberantasan korupsi. Skor Indonesia berada di angka 37 dari 100, menempatkan Indonesia pada peringkat 99 dari 180 negara yang disurvei. Angka ini menandakan stagnasi yang mengkhawatirkan dan memperlihatkan lemahnya kemauan politik untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.
NAP yang Tidak Ambisius, OGP yang Stagnan
Lebih lanjut, TII menilai Rencana Aksi Nasional (National Action Plan/ NAP) OGP Indonesia yang disusun pemerintah hingga saat ini tidak cukup ambisius dan cenderung menghindari isu-isu struktural. Rencana aksi tersebut masih sebatas rutinitas administratif dan gagal menyentuh aspek fundamental seperti penguatan mekanisme check and balance serta perlindungan ruang sipil.
TII juga menegaskan bahwa keberhasilan OGP tidak mungkin dicapai tanpa keterlibatan masyarakat sipil yang aktif dan kritis. Masyarakat sipil di Indonesia bukan sekadar pelengkap, tetapi penjaga agar agenda keterbukaan tetap hidup. “OGP dilahirkan untuk mendekatkan pemerintah dengan warganya, bukan untuk memperkuat jarak di antara keduanya.” tambah Agus Sarwono, Peneliti Transparency International Indonesia.
Seruan untuk Tindakan Nyata
Melalui momentum OGP Summit 2025, Transparency International Indonesia menyerukan agar Pemerintah Indonesia mengambil langkah konkret untuk memulihkan integritas dan makna keikutsertaannya dalam OGP dengan:
- Segera mengesahkan Peraturan Presiden tentang OGP, agar ada dasar hukum yang kuat dan akuntabilitas yang jelas dalam pelaksanaannya.
- Membuka ruang mekanisme Independent Review Mechanism (IRM) secara transparan dan partisipatif,yang melibatkan masyarakat sipil dalam penyusunan, pemantauan, dan evaluasi komitmen OGP.
- Menjamin perlindungan penuh terhadap ruang sipil dan kebebasan berekspresi, yang menjadi fondasi pemerintahan terbuka.
TII menegaskan, nilai dan semangat OGP hanya bisa hidup bila masyarakat sipil diberi ruang untuk berperan, mengawasi, dan menuntut akuntabilitas. Menjadi anggota OGP sejatinya adalah tentang keberanian membuka diri terhadap kritik dan partisipasi rakyat.
==================
English
Transparency International Indonesia Urges Government to Reassess Its OGP Commitment Amid Democratic Backsliding and Shrinking Civic Space
Vitoria-Gasteiz, Spain / Jakarta, Indonesia — 7 October 2025
Transparency International Indonesia (TII) warns that the Indonesian government’s commitment to the Open Government Partnership (OGP) has lost its meaning amid democratic backsliding, shrinking civic space, and persistent corruption. The statement was delivered during the OGP Global Summit 2025 in Vitoria-Gasteiz, Spain, which brings together more than two thousand government and civil society leaders from around the world to revisit the direction of the global open government movement.
Shrinking Civic Space, Declining Quality of Openness
TII highlighted the growing contradiction between Indonesia’s formal commitments on the global stage and the reality on the ground. Amid tighter political control, restrictions on freedom of expression, and increasing intimidation of human rights defenders and civil society organizations, the government has done little to protect civic space and sustain a healthy environment for participation.
Recent findings from the Varieties of Democracy (V-Dem) project show that the Indonesian government is consulting less with its citizens and listening more to a small circle of powerful interests. This reflects how the principle of co-creation has lost its spirit.
“The Indonesian government cannot continue to boast about being an OGP member while civic space keeps shrinking,” said Alvin Nicola, Program Manager at Transparency International Indonesia.
In the same context, the newly released Corruption Perceptions Index (CPI) 2024 shows that Indonesia continues to face serious challenges in combating corruption. The country scored 37 out of 100, ranking 99th out of 180 countries, indicating worrying stagnation and a lack of political will to strengthen clean and transparent governance.
Unambitious NAP, Stagnant OGP
TII also noted that Indonesia’s National Action Plan (NAP) under the OGP framework remains unambitious and avoids tackling structural issues. The plan is largely administrative and fails to address fundamental areas such as checks and balances, institutional openness, and civic space protection.
TII emphasized that open government reforms cannot succeed without active and critical civil society participation. Civil society in Indonesia is not an accessory but a watchdog — the guardian that keeps the openness agenda alive.
“OGP was created to bring governments closer to their citizens, not to widen the gap between them, which reflected in many current national priority projects” added Agus Sarwono, Researcher at Transparency International Indonesia.
A Call to Action
Through the OGP Global Summit 2025, Transparency International Indonesia calls on the Indonesian government to take concrete steps to restore integrity and meaning to its OGP participation by:
- Enacting a Presidential Regulation on OGPto establish a strong legal foundation and clear accountability for implementation.
- Opening the Independent Review Mechanism (IRM)in a transparent and participatory manner, ensuring meaningful involvement of civil society in developing, monitoring, and evaluating commitments, including civil society-led shadow report mechanism.
- Guaranteeing full protection of civic space and freedom of expression, which form the foundation of open and democratic governance.
TII affirms that the values and spirit of OGP can only thrive when civil society is given the space to act, monitor, and demand accountability. Membership in OGP is not about international status, it is about the courage to open up to criticism and citizen participation.