
Jakarta, 13 Oktober 2025, Trend Asia dan Transparency International Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Solidaritas Nasional untuk Rempang meluncurkan hasil kajian teranyarnya yang bertajuk “Buku Putih Valuasi Kerusakan Proyek Rempang Eco City”. Riset ini merupakan kajian lanjutan dari riset-riset advokasi mengenai Pulau Rempang. Secara garis besar kata “Valuasi” yang menjadi kata kunci dalam tajuk laporan riset ini mewakili apa-apa saja yang dibahas oleh Tim Solidaritas untuk Rempang dalam kajian kali ini. Utamanya, mengerucut pada perspektif sosio-ekonomi mengenai dampak yang akan dirasakan warga masyarakat di Pulau Rempang ketika proyek Rempang Eco City benar-benar terealisasi.
Laporan riset ini juga cukup berimbang untuk menjadi “pembanding” laporan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dari proyek Rempang Eco City yang mendaku sebagai proyek pembangunan hijau yang ramah lingkungan. Penyajian data valuasi sosio-ekonomi yang komprehensif dalam laporan ini menentang klaim “proyek hijau” yang melekat pada Rempang Eco City yang rutin dikampanyekan oleh BP Batam selaku representasi dari pemerintah. Krisis sosio-ekologis dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat Melayu Tempatan di Rempang, terpotret secara jelas dalam laporan penelitian ini juga menuntut penjelasan segera dari para penyelenggara negara.
Nilai investasi Xinyi sebagai salah satu calon investor di Rempang hingga 2080 adalah Rp 381 triliun. Jika memakai tolok ukur tahun investasi itu, maka dapat diestimasikan nilai kerugian lingkungan masyarakat yang ditemukan dalam laporan – mencakup gangguan kenyamanan, hilangnya flora-fauna, hilangnya mata pencaharian, hingga abrasi – mencapai hampir 50% dari total investasi, atau senilai Rp 165 triliun. Per bulan, ongkos lingkungan itu juga dapat mencapai 3,33 kali dari potensi ekonomi lokal Rempang senilai Rp 32,77 juta per rumah tangga per bulan jauh lebih tinggi dibandingkan klaim pemerintah yang hanya sebesar Rp3 juta per bulan.
“Melalui riset ini kami membuktikan bahwa proyek yang disebut ‘hijau’ justru menciptakan krisis ekologis dan sosial. Nilai ekonomi ruang hidup masyarakat Rempang jauh lebih besar daripada keuntungan yang dijanjikan investasi. Ini bukan sekadar konflik lahan, tapi konflik nilai antara logika kapital dan keberlanjutan hidup manusia,” ungkap Zakki Amali, Peneliti Trend Asia
sekaligus merupakan anggota dari Solidaritas Nasional untuk Rempang.
Sejalan dengan Zakki Amali, Tata Mustasya, Direktur Eksekutif SUSTAIN juga menggarisbawahi konteks ketidakadilan yang terbalut dengan klaim pembangunan hijau dalam proyek Rempang Eco City ini. “Rempang adalah cermin dari bagaimana kebijakan transisi energi yang erat dengan klaim ‘Pembangunan Hijau’ dijalankan tanpa keadilan. Pemerintah memakai jargon ekonomi hijau, tapi menyingkirkan masyarakat yang justru paling menjaga lingkungan. Transisi energi sejati harus menempatkan manusia dan ekosistem sebagai pusat, bukan korban, ” jelas Tata Mustasya.
Belum lagi, soal status PSN (Proyek Strategis nasional) pada proyek Rempang Eco City dan proyek-proyek lainnya yang terlegitimasi melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 hingga hari ini tak ada kejelasan (apakah masih berlaku atau tidak) meski sudah ada Perpres No. 12 Tahun 2025 regulasi anyar tentang PSN, masih menyisakan zona abu-abu di mana kondisi ini tak kunjung dijelaskan (atau sengaja tak dijelaskan) oleh pemerintah.
Berkaca dari kasus bentrokan besar di Pulau Rempang, yang mana terjadi pada September 2023 sebulan setelah Proyek Rempang Eco City mendapat status PSN. Kala itu bentrokan besar terjadi di pulau seluas 16 ribu hektar ini yang melibatkan aparat gabungan dengan warga Melayu Tempatan akibat pematokan lahan untuk “Proyek Strategis Nasional” Rempang Eco City yang konsesinya dimiliki oleh anak usaha milik Tommy Winata, bos Arthagraha Group. Kejadian ini menjadi bukti bahwa seringkali label PSN dijadikan legitimasi untuk berbuat sewenang terhadap rakyat.
“Label PSN tidak boleh menjadi tameng untuk menyingkirkan warga dan menutup ruang demokrasi. Kami melihat Rempang sebagai simbol dari bagaimana pembangunan strategis nasional berubah menjadi proyek yang menindas. Negara seharusnya melindungi rakyat, bukan menjadi alat investor, ” seru Salsabila Khairunnisa salah satu pengacara yang menggawangi koalisi Gerakan Rakyat Menggugat PSN (GERAM PSN).
Sebagai penutup, suara dari masyarakat Rempang menjadi pengingat paling jujur tentang makna pembangunan yang sesungguhnya. “Kami sudah hidup di tanah ini turun-temurun. Laut dan hutan adalah sumber hidup kami. Yang kami minta sederhana: jangan cabut kami dari akar kami sendiri. Kalau pembangunan memang untuk rakyat, biarkan kami ikut menentukan masa depan Rempang, ” ungkap Ishaka, warga Rempang.
Seruan dari Pulau Rempang ini menjadi refleksi mendalam bahwa pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan proyek-proyek negara lain tidak akan pernah benar-benar bermakna tanpa keadilan bagi mereka yang telah menjaga tanah, laut, dan kehidupan di dalamnya.
Laporan dapat diunduh di sini
Lampiran presentasi dan foto acara di sini
Kontak:
Firman Imaduddin – Trend Asia: (081386440901, firman.imaduddin@trendasia.org )
Zakki Amali – Trend Asia: zakki.amali@trendasia.org
Bagus Pradana – Transparency International Indonesia : info@ti.or.id