Komisaris “Rasa” Politisi; Perjamuan Kuasa di BUMN

Jakarta, 30 September 2025

Kasus korupsi dan kerugian yang melanda banyak BUMN seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera memperbaiki tata kelola BUMN. Namun yang terjadi justru makin meruyaknya praktik rangkap jabatan dan dominasi kepentingan politik dalam penunjukan komisaris di perusahaan plat merah ini. Dalam catatan Transparency International Indonesia (TI Indonesia) hingga 30 September 2025 ada 33 wakil menteri yang rangkap jabatan wakil menteri dengan komisaris BUMN, ini belum termasuk 1 Menteri Investasi dan Hilirisasi / Kepala BKPM yang merangkap di BP Danantara dan 1 Kepala Staf Kepresidenan yang juga komisaris di PT Pertamina Hulu Energi. Putusan MK No. 128/PUU-XXIII/2025 yang diketok pada 28 Agustus 2025 faktanya tak cukup membuat pemerintah bergeming untuk setidaknya mengurangi praktik rangkap jabatan.

TI Indonesia melakukan riset lanjutan untuk melihat komposisi komisaris BUMN yang dicurigai dijadikan sebagai tempat untuk menampung politisi dan relawan politik. TI Indonesia menyebutnya sebagai politically exposed persons (PEPs) dengan beberapa kategori yakni birokrat, politisi, profesional, akademisi, ormas, aparat penegak hukum, militer, dan mantan pejabat negara. Para politisi, pejabat publik, dan orang- orang yang memiliki hubungan erat dengan kelompok ini yang kemudian dianggap sebagai area risiko korupsi yang signifikan bagi BUMN. Riset ini dilakukan terhadap 119 perusahaan yang terdiri atas 59 induk BUMN dan 60 anak usaha BUMN yang tercantum dalam Laporan Keuangan Gabungan BUMN Tahun 2023 yang diterbitkan oleh Kementerian BUMN.

Keseluruhan BUMN dan anak usahanya ini didapat 562 jabatan komisaris dengan komposisi latar belakang sebagai berikut;

Jenis PEPS

No Jenis Politically Exposed Persons Jumlah
1 Birokrat 174
2 Politisi 165
3 Profesional 133
4 Akademisi 15
5 Ormas 10
6 Aparat penegak hukum 29
7 Militer 35
8 Mantan pejabat negara 1
TOTAL 562

Komposisi ini memperlihatkan bahwa komisaris dengan latar belakang birokrat dan politisi sangat dominan di BUMN (60%). Jika melihat sebaran berdasarkan perusahaan induk (holding) dan anak usahanya, maka komposisi birokrat dan politisi sangat dominan di induk usaha BUMN dengan komposisi 37,8% (birokrat) dan 31,3% (politisi). Sedangkan di anak usaha BUMN, jika digabungkan antara birokrat dan politisi persentasenya mencapai 51,9%  jauh diatas komisaris dengan latar belakang profesional sebanyak 32,1%.

Grafik sebaran PEPs Komisaris di Holding dan Sub-Holding

Dominannya jumlah politisi dalam jajaran komisaris BUMN ini juga mengindikasikan jabatan tersebut memang ditujukan untuk kepentingan para pendukung politik di masa pemilu. Dalam temuan ini, TI Indonesia menemukan bahwa 165 politisi menempati jabatan komisaris di BUMN. Kategori politisi ini terdiri dari kader atau anggota partai politik dan kelompok relawan politik. Hasilnya dari 165 kursi, 104 diantaranya diduduki oleh anggota partai politik dan 61 kursi diperuntukkan bagi relawan politik. Adapun jabatan komisaris dengan latar belakang anggota partai politik tersebut didominasi oleh Partai Gerindra, yang Ketua Umumnya adalah Presiden Prabowo Subianto yang mencapai jumlah 53 orang.

No Partai Politik Jumlah Komisaris di BUMN
1 Gerindra 53
2 PDIP 6
3 Golkar 9
4 Demokrat 10
5 Nasional Demokrat 3
6 PAN 6
7 Perindo 2
8 PSI 6
9 Gelora 1
10 PPP 2
11 Partai Hanura 2
12 Partai Buruh 2
13 Partai PRIMA 1
14 PKB 5
15 Partai Bulan Bintang 1
Total 109

Jika data PEPs komisaris dibagi kedalam sektor tertentu yang strategis yakni BUMN sektor energi, sektor perbankan dan sektor infrastruktur maka didapatkan data bahwa politisi dan birokrat sangat dominan.

Jenis PEPs Sektor Energi Sektor Perbankan Sektor Infrastruktur
Birokrat 25,9% 26,7% 35,4%
Politisi 40,5% 25,3% 23,1%
Profesional 13,8% 42,7% 23,1%
Militer 8,6% - 4,6%
Aparat Penegak Hukum 7,8% 1,3% 10,8%
Ormas - 4% -
Mantan Pejabat Negara 0,9% - -
Akademisi 1,7% - 3,1%

Dari riset ini TI Indonesia menemukan fakta bahwa jumlah jabatan komisaris BUMN pada dasarnya tidak mengalami pengurangan sebagaimana disampaikan oleh Presiden. Yang terjadi justru proses due diligence komisaris dilakukan secara serampangan tanpa mengindahkan aspek kapasitas/pengetahuan yang memadai, termasuk potensi konflik kepentingan akibat praktik rangkap jabatan baik di kementerian maupun birokrasi yang mengaburkan batas antara fungsinya apakah sebagai regulator atau eksekutor. Penempatan PEPs di BUMN juga tak memperhatikan kebijakan cooling off period dimana anggota partai politik, mantan birokrat, mantan aparat penegak hukum dan mantan anggota militer serta merta dapat menduduki jabatan komisaris tanpa jeda masa jabatan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penggunaan pengaruh yang tidak semestinya (undue influence). Selain itu, minimnya pelibatan kelompok profesional sebagai komisaris juga mengindikasikan semakin lemahnya sistem meritokrasi di BUMN. Melalui riset ini, TI Indonesia meminta kepada Presiden Prabowo Subianto untuk segera memperbaiki tata kelola di BUMN, setidaknya dapat dimulai dari sistem pemilihan pucuk pimpinan di BUMN.

Contact Persons:
Asri Widayati (awidayati@ti.or.id)
Bagus Pradana (bpradana@ti.or.id)

Lampiran
Download Presentasi hasil temuan di sini
Download tabel Hasil hitung PEPs Komisaris 2025 di sini

Tonton rekam proses konferensi pers dan diskusi daring

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved