Sedikitnya ada lima aturan yang ditabrak akibat pejabat negara rangkap jabatan di badan usaha milik negara atau BUMN.

JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil melaporkan dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan 2 menteri dan 33 wakil menteri ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (20/8/2025). Laporan ini didasarkan pada praktik rangkap jabatan para pejabat tersebut sebagai komisaris di lingkungan badan usaha milik negara atau BUMN yang dinilai tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga membuka celah korupsi dan konflik kepentingan.
Koalisi tersebut terdiri dari Themis Indonesia, Transparency International Indonesia (TII), dan Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan HAM (Pandekha) Fakultas Hukum UGM. Mereka menilai praktik rangkap jabatan para pejabat tinggi itu berpotensi menimbulkan kerugian negara.
”Rangkap jabatan ini tidak hanya melanggar ketentuan perundang-undangan, tetapi juga menimbulkan potensi korupsi disebabkan rangkap penghasilan atau pendapatan yang diperoleh dari dua jabatan yang berbeda,” ujar peneliti TII, Bagus Pradana, lewat keterangan tertulis di Jakarta.
Menurut Bagus, praktik ini juga semakin menguatkan adanya konflik kepentingan dalam pengelolaan BUMN. Fungsi pengawasan yang seharusnya menjadi tugas utama seorang komisaris justru menjadi lemah dan tidak efektif. Koalisi merujuk pada kasus korupsi di PT Asabri dan PT Jiwasraya, di mana laporan Ombudsman RI pada 2019 menemukan adanya kelemahan sistem pengawasan yang salah satunya disebabkan oleh rangkap jabatan komisaris.

Ironisnya, kata Bagus, praktik ini justru bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang digaungkan pemerintah. Ia pun menyoroti pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada 15 Agustus 2025 yang secara spesifik menyebut korupsi di BUMN masih menjadi masalah besar.
”Namun, pidato ini sering kali berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan untuk memperbaikinya. Presiden justru merestui wakil menteri untuk menjabat di perusahaan negara sebagai komisaris yang diklaim sebagai wakil dari pemerintah,” kata Bagus.
Rangkap jabatan ini tidak hanya melanggar ketentuan perundang-undangan, tetapi juga menimbulkan potensi korupsi disebabkan rangkap penghasilan atau pendapatan yang diperoleh dari dua jabatan yang berbeda.
Langgar aturan
Selain itu, Bagus membeberkan setidaknya ada lima aturan hukum yang secara gamblang dilanggar oleh praktik rangkap jabatan ini. Pertama, Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang secara tegas melarang menteri merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara. Larangan tersebut, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, juga berlaku bagi wakil menteri.
Kedua, UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN yang melarang komisaris merangkap jabatan lain yang dilarang undang-undang. Ketiga, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang melarang pelaksana pelayanan publik dari instansi pemerintah merangkap sebagai komisaris.
Keempat, praktik rangkap jabatan dinilai sebagai bentuk nyata pelanggaran Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), khususnya asas kepastian hukum dan konflik kepentingan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Kelima, aturan internal Kementerian BUMN sendiri, yakni Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023, secara spesifik mensyaratkan anggota Dewan Komisaris tidak sedang menduduki jabatan yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.

Bagus pun menyoroti implikasi finansial dari praktik ini, yakni adanya rangkap penghasilan dan fasilitas yang diterima para pejabat. Hal tersebut merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan Wakil Menteri dan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-3/MBU/03/2023 yang juga mengatur tentang penghasilan bagi dewan komisaris.
Atas dasar itu, kata Bagus, koalisi masyarakat sipil mendesak KPK untuk segera memproses hukum laporan ini dan merekomendasikan kepada Presiden untuk melarang total praktik rangkap jabatan. ”Kami juga meminta Presiden untuk memberhentikan seluruh menteri dan wakil menteri yang melakukan praktik rangkap jabatan, tidak hanya di BUMN, tetapi juga jabatan lain yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan,” ujarnya.
Mencegah konflik kepentingan
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengapresiasi laporan dari koalisi masyarakat sipil tersebut. Menurut dia, KPK memandang aduan tersebut sebagai bentuk dukungan publik untuk memitigasi dan mencegah potensi benturan kepentingan atau conflict of interest (COI) dalam penyelenggaraan pemerintahan.
”Kami menyampaikan terima kasih dan apresiasi. Ini juga menjadi salah satu fokus KPK terkait dengan imbauan untuk para penyelenggara negara agar tidak rangkap jabatan supaya kita bisa memitigasi adanya COI tersebut,” kata Budi.
Terkait desakan agar KPK menegur Presiden yang dinilai merestui praktik ini, Budi menyatakan pihaknya akan mendalami terlebih dahulu pandangan dan kajian dari koalisi. ”Tentu itu akan menjadi pengayaan dan diskursus bagi KPK dalam melihat potensi korupsi, khususnya potensi konflik kepentingan pada rangkap jabatan ini,” ujar Budi.
Summer: KOMPAS ID