
Berawal dari Pemasangan APK yang Serampangan
Tindak Manipulasi Laporan Dana Kampanye
Secara kasat mata, kampanye yang dilakukan calon dalam Pilkada Jember cukup banyak.
Namun, laporan dana kampanye yang diterima penyelenggara pemilu terkesan asal lapor. Adakah manipulasi di balik laporan dana kampanye itu?
BANNER atau baliho bergambar pasangan cabup/cawabup nomor urut 01 dan 02 sudah berhari-hari menghiasi tiga ruas jalan utama yang mengelilingi jantung kota Jember. Di Jalan Sultan Agung, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Trunojoyo, yang dikenal dengan kawasan Segitiga Emas Jember itu.
Bahkan, sampai ke desa-desa dan daerah pelosok juga ada promosi calon yang dipaku pada pohon atau di banyak tempat.
Sejak kampanye pilkada dimulai pada 25 September hingga 23 November 2024, jumlahnya semakin banyak.
Jumlah itu belum termasuk baliho dan billboard berukuran jumbo milik paslon. Jika diakumulasi dengan yang terpasang di kecamatan-kecamatan, perdesaan, hingga jalanan dusun, jumlahnya tentu semakin banyak.
Sebenarnya, di kawasan Segitiga Emas itu terdapat sekolah, tempat ibadah, dan kantor pemerintahan.
Meski dipajang dengan ukuran berbeda, tapi banner paslon memiliki model yang sama. Milik kubu petahana paslon 1, Hendy Siswanto dan Muh. Balya Firjaun Barlaman, tampil identik dengan warna merah, disertai tagline “sepakat lanjutkan”. Genap dengan parpol pengusungnya, PDIP.
Masih di sekitar lokasi yang sama, banner kubu penantang, paslon 2 Muhammad Fawait dan Djoko Susanto, juga tampil dengan warna identitasnya, pink atau merah muda.
Disertai tagline “semua karena cinta, ojo lali moco sholawat”. Banner paslon 2 juga menyertakan logo parpol-parpol KIM Plus yang merupakan pengusungnya.
Pemasangan alat peraga kampanye (APK) berupa banner ini terang-terangan menabrak regulasi. Salah satunya Peraturan Bupati Jember Nomor 14 Tahun 2013 tentang Pedoman Pemasangan APK, yang melarang APK dipasang di kawasan Segitiga Emas Jember.
Termasuk melarang APK dipasang pada pohon, tiang listrik, dan di tempat-tempat yang dekat dengan fasilitas umum.
Seperti sekolah, tempat ibadah, rumah sakit atau fasilitas kesehatan, dan instansi pemerintahan.
Dalam Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota, juga tegas membatasi jenis APK setiap paslon.
Untuk reklame atau billboard, maksimal 5 buah di kabupaten/kota. Baliho maksimal 5 buah di kabupaten/kota.
Spanduk maksimal 2 buah untuk setiap desa/kelurahan, dan umbul-umbul paling banyak 20 buah untuk setiap kecamatan. Pemasangan APK juga diutamakan menggunakan bahan yang dapat didaur ulang.
Pemasangan APK yang serampangan ini juga terkesan dibiarkan dan membuka celah bentuk pelanggaran lain yang lebih besar. Bawaslu Jember sempat menegaskan bahwa penertiban APK yang melanggar sepenuhnya wewenang pemerintah daerah, melalui Satpol PP selaku eksekutor perda atau perbup.
“Kami nanti akan koordinasikan dengan Satpol PP terkait penertiban APK yang melanggar di sekitar Segitiga Emas ini,” kata Ratno Cahyadi Sembodo, Kepala Inspektorat Jember, saat rapat dengar pendapat di DPRD Jember, dua pekan lalu (7/11).
Untuk keperluan kampanye, setiap paslon jelas menggelontorkan dana yang tidak sedikit. Kampanye juga tidak semua tentang APK.
Namun, bisa berupa konsolidasi, atau pertemuan terbuka dengan mendatangkan massa.
Informasi yang dihimpun Jawa Pos Radar Jember, biaya cetak banner dibanderol mulai dari Rp 20–25 ribu per meter.
Lalu, baliho dan billboard bisa di kisaran Rp 5 juta, durasi penayangan satu bulan. Ukuran dan lokasi billboard juga memengaruhi harga.
Jika diestimasi, APK ini saja sudah tentu memakan biaya hingga miliaran.
Itu masih APK. Untuk konsolidasi dan kampanye pertemuan terbuka, juga menelan biaya yang tidak sedikit.
Penelusuran menemukan, rate harga sewa ballroom hotel berbintang di Jember mencapai Rp 20 juta dengan kapasitas 100 orang, untuk sekali pertemuan/acara.
Nominal itu tentu membengkak jika paslon juga menyewa jasa event organizer (EO).
“Jika yang diundang bintang tamu lokalan itu Rp 100 jutaan, 150 juta sudah mewah. Kalau ngundang artis, band tanah air, 200 jutaan ke atas. Kami juga menerima pembuatan banner dan billboard, harganya lihat lokasinya,” kata seorang EO di Jember, dua pekan lalu (11/11), yang meminta namanya dirahasiakan.
Dengan adanya kemungkinan dugaan lebihnya pemakaian dana dari dana kampanye yang dilaporkan, maka perlu adanya ketegasan dalam audit dana kampanye.
Apabila dana yang diperoleh maupun digunakan ada dana-dana yang bersumber dari yang dilarang, maka perlu dikejar dan ditindak secara tegas. (c2/nur)




Kekuatan Logistik Para Calon
PEMBATASAN alat peraga kampanye (APK) bertujuan untuk menekan biaya pilkada sekaligus membuat adil. Namun, perbedaan besaran dana kampanye tampaknya masih saja terjadi. Diketahui, KPU Jember telah menetapkan batasan dana kampanye paslon yang akan maju di Pilbup Jember 2024 ini sebesar Rp 79,9 miliar.
Koordinator Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU Jember Hendra Wahyudi menyampaikan, nominal itu merupakan hasil mufakat antara KPU dengan liaison officer (LO) paslon 1 dan 2.
“Alokasi paling banyak itu kurang lebihnya Rp 79,9 miliar, terbagi banyak perincian. Mulai dari pertemuan terbatas, pertemuan terbuka, banner, dan sebagainya semua dipaparkan di situ,” katanya.
Baik petahana maupun penantang, tidak hanya tersohor di kota berpenduduk 2,6 juta jiwa ini. Namun juga tajir.
Itu berdasar Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disodorkan saat mendaftar ke KPU Jember, akhir Agustus 2024 lalu. Berdasarkan LHKPN, cawabup Djoko menjadi yang paling tajir.
Total kekayaannya Rp 34,40 miliar (dilaporkan 27 Agustus 2024).
Jamak diketahui, Djoko pernah tiga kali mengepalai BPN tingkat kabupaten/kota, di Kutai Kartanegara, Jember, dan Kota Surabaya I.
Selepas pensiun, Djoko menjadi pengusaha properti, bos De Sitinggil, salah satu perumahan elite di Jember.
Belakangan diketahui, usahanya itu diteruskan oleh putranya, Edo Rahmanta EP, legislator DPRD Jember Fraksi Gerindra, yang lolos di Pileg 2024 lalu. Djoko pernah turun di Pilkada Jember 2020. Namun, kandas saat perburuan rekomendasi. Di Pilkada 2024 ini, ia duet dengan Fawait.
Figur paling tajir kedua yakni sang petahana, Hendy Siswanto, total kekayaan Rp 25,41 miliar. Hendy juga mantan birokrat di Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan RI, lalu pensiun pada tahun 2015.
Bersama istrinya, Kasih Fajarini, ia dikenal melalui bisnis toko busana Rien Collection Jember, yang dinaungi Seven Dream Group yang eksis sejak 1990 silam.
Figur paling tajir ketiga yakni Muhammad Fawait, atau Gus Fawait. Ia tercatat memiliki harta kekayaan Rp 9,92 miliar. Politikus Gerindra yang tiga kali melenggang ke Gedung DPRD Jatim ini juga terkenal dengan basis massa melalui ormas yang dipimpinnya, Laskar Sholawat Nusantara (LSN). Pengasuh PP Nurul Chotib Al Qodiri IV ini juga dianggap sebagai tokoh muda inspiratif di Jember.
Sementara itu, figur dengan kekayaan paling sedikit yakni Gus Firjaun, dengan kekayaan sebesar Rp 472,5 juta. Putra KH Achmad Siddiq (mantan Rais Aam PBNU) ini juga dikenal memiliki basis pendukung militan dari majelis zikir dan pesantren yang dipimpinnya. Gus Firjaun, Fawait, dan Hendy, melampirkan LHKPN periodik per 31 Desember 2023. (mau/c2/nur)
Terkesan Sekadar Penggugur Kewajiban
SETIAP paslon diwajibkan menyampaikan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye maksimal Minggu (24/11). Melalui web Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye (Sikadeka). Nantinya, akan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP).
Penelusuran di laman infopemilu.kpu.go.id, pukul 01.28, Minggu (24/11), menguraikan laporan yang disampaikan masing paslon 1 dan 2. Mulai dari Laporan Awal Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
Kubu petahana, Hendy-Firjaun, melaporkan saldo LADK sebesar Rp 300 ribu, LPSDK Rp 5,319 miliar 750 ribu, dan LPPDK Rp 0. Kubu 1 sudah menerima Rp 5,719 miliar 750 ribu, dari sumbangan paslon, pengeluaran Rp 102,94 juta dan saldo Rp 5,616 miliar 810 ribu. Itu dalam bentuk uang, sementara dalam bentuk barang dan jasa, terpantau Rp 0. Laporan berkala disampaikan 23 kali.
Sementara kubu penantang, Fawait-Djoko, melaporkan saldo LADK sebesar Rp 0, LPSDK Rp 1 Miliar, dan LPPDK Rp 0. Kubu 2 sudah menerima Rp 1 miliar dari sumbangan paslon, pengeluaran Rp 494 juta, dan saldo Rp 506 juta.
Itu bentuk uang, sementara dalam bentuk barang dan jasa terpantau Rp 0. Laporan berkala disampaikan 3 kali.
Hanan Kukuh Ratmono, LO paslon 2, saat ditemui (18/11), menyebut menjadi penghubung ke KPU–termasuk urusan pelaporan dana kampanye–sempat membuka perihal laporan tersebut.
“Kami sebagai LO saja, sifatnya hanya menyampaikan apa yang dari KPU, kepada tim pemenangan,” katanya.
Hanan menyebut, pelaporan dana kampanye itu ada bagiannya sendiri. Tak ingin mengambil konsekuensi, ia menyarankan kepada tim pemenangan saja. “Ditanyakan kepada tim pemenangan saja, ada tim sendiri. Kami LO hanya pesuruh. Kalau ada putusan dari KPU, kami sampaikan ke tim,” imbuhnya.
Hampir serupa, LO paslon 1, Candra Arifianto, mengakui bahwa pelaporan dana kampanye itu kewajiban paslon sebagai transparansi.
“Di aplikasi KPU itu kami harus melaporkan, siapa menyumbang, berapa nominalnya, untuk apa, dan seterusnya. Dibuktikan dengan nota/kuitansi, dan foto giat,” sebutnya saat ditemui, 11 November lalu.
Meski begitu, Candra juga tak mengingat detail nominal penerimaan atau penggunaannya. Ia menjanjikan akan disampaikan terbuka ke publik. “Kami masih melakukan proses itu, agar masyarakat juga tahu. Kami akan berikan transparansi keuangan yang ada di Jih Hendy dan Gus Firjaun, seterang-terangnya kepada masyarakat Jember,” imbuh Candra. (mau/c2/nur)
Money Politic Tak Sebatas Uang
MONEY politic merupakan salah satu hal yang sering menjadi pembahasan, ketika terdapat momentum pemilu atau pilkada. Hal tersebut tidak selalu berupa pemberian uang tunai. Dalam perspektif sosiologi, menjanjikan sesuatu juga masuk di dalamnya. Bahkan tindakan tersebut dapat dilakukan di luar gelaran pesta demokrasi.
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unej, Lukman Wijaya Baratha, menyampaikan, dalam perspektif hukum, money politic definisinya hanya dibatasi pada momentum tertentu, yakni mulai masa kampanye dan pemungutan suara saja. Di luar tahapan tersebut, tidak dapat dipermasalahkan secara hukum. “Kalau definisi sesuai logika hukumnya, saya rasa sudah selesai, sampai detail,” katanya.
Money politic dalam sisi hukum hanya menyasar penyelenggara dan peserta pemilu. Sementara, menurutnya, pemilih lebih banyak diabaikan, karena dianggap bukan sebagai faktor utama. Dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilih memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya masing-masing.
Namun, jika dilihat dalam bingkai yang lebih luas menggunakan pendekatan sosiologis, maka pemaknaan money politic terdapat sejumlah perbedaan, karena dianggap menjadi bagian dari proses politik. Sosiolog cenderung melihat fungsi uang dalam bingkai kekuasaan seperti apa.
“Tapi, ini menjadi bermasalah, ketika dalam praktiknya tidak bisa dibuktikan secara hukum. Makanya domain yang selama ini, cukup kuat, ya, bingkai hukum itu,” terangnya.
Orang yang memiliki uang, menurut Lukman, dapat mengendalikan relasi produksi atau relasi sosiologi lebih luas. Sehingga mereka bisa berkuasa dengan mengakumulasikan uang tersebut. Sebab, dapat digunakan untuk membeli barang, akses, hingga makhluk hidup. “Itu riil dalam masyarakat kita, bahwa kekuasaan bekerja melalui itu,” imbuhnya.
Oleh sebab itu, dalam sebuah pilkada proses lahirnya seorang pemimpin harus diperhatikan. Apakah yang bersangkutan kader partai, bukan kader partai tapi meminta rekomendasi partai politik, atau independen. Dalam sosiologis hal tersebut diamati, salah satunya pemakaian uang sebagai mahar politik.
Penggunaan anggaran untuk bantuan sosial hingga beasiswa, menurutnya, dalam perspektif hukum bukan termasuk money politic. Namun, jika dipandang dari sisi sosiologis, tindakan itu dapat dianggap sebagai penggunaan uang untuk konversi kekuasaan.
“Selama ini calon kepala daerah juga melegitimasikan itu secara legal. Dengan mengajukan program yang isinya beasiswa dan bansos,” tuturnya.
Lebih lanjut, dia juga menegaskan, penggelontoran anggaran untuk bansos dan beasiswa membenarkan uang tunai dapat beredar dalam politik. Meski secara hukum tindakan itu dianggap legal.
Oleh sebab itu, dia menilai format money politic tidak sebatas pandangan hukum saja. Melainkan ada tekanan dari pihak lain, untuk mendorong bahwa politik tidak lagi memakai uang cash. Dalam program pemerintah tidak lagi menggelontorkan uang tunai ke masyarakat, walaupun sah secara hukum.
“Anggaran pemerintah itu seharusnya diwujudkan dalam program yang bermanfaat dalam jangka panjang. Sehingga pendidikan politik oleh eksekutif kepada rakyat itu tidak memberikan barang konsumtif lagi,” pungkasnya. (ham/c2/nur)
Celah Pelanggaran Lebih Besar
JAUH hari sebelumnya, model pelaporan yang ala kadarnya dan terkesan sekadar menggugurkan kewajiban ini semakin membuka celah atau potensi pelanggaran yang lebih serius. Yakni mengarah pada manipulasi pelaporan dana kampanye akhir.
Komisioner KPU Jember Hendra Wahyudi menyampaikan, Pasal 74, 75, dan 76 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pencalonan Kepala Daerah, telah mewajibkan setiap paslon kepala daerah melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, dengan sejujur-jujurnya sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
“Kami menegaskan saat pemenuhan laporan dana awal kampanye saja, kemarin. Kalau sekarang, kami belum memahami detail besarannya sudah sampai berapa. Saya tidak bisa mengakses, karena yang bisa mengakses itu akuntan publik nanti,” jelas Hendra Wahyudi, tiga pekan lalu (7/11).
Kordiv Penanganan Pelanggaran dan Datin Bawaslu Jember Devi Aulia Rahim mengaku belum memantau secara detail keseluruhan penyampaian laporan dana kampanye tersebut. Devi mengaku masih ingin mempelajari lebih lanjut.
Ia merasa belakangan ini masih disibukkan dengan agenda sosialisasi pengawasan partisipatif ke berbagai lapisan masyarakat dan menangani dugaan pelanggaran pemilu.
“Jangan sekarang, ya, saya masih mau melihat dan mempelajari lebih detail lagi. Kalau soal penanganan pelanggaran monggo. Kalau yang dana kampanye, nanti saja,” janjinya, ditemui saat rapat dengar pendapat di DPRD Jember (11/11).
UU Pilkada memang tidak mengatur perihal sanksi bagi paslon yang tidak melaporkan dana kampanye secara jujur. Sebelumnya, PKPU Nomor 5 Tahun 2017 memberlakukan sanksi diskualifikasi jika paslon terbukti menerima sumbangan dari sumber terlarang. Namun, pada Pilkada 2024 ini, sanksi itu raib, seiring lahirnya PKPU Nomor 14 Tahun 2024 tentang Dana Kampanye. Kondisi ini membuat gelaran pemilu semakin jauh dari prinsip integritas.
Anggota KPU RI, Idham Holik, menyebut, pihaknya telah meminta kepada setiap KPU di daerah perihal kepatuhan dan transparansi pelaporan dana kampanye ini. “Selama pelaporannya tidak balanced, kami akan minta perbaiki. Ada masa perbaikan. Kami sudah sosialisasikan, kami yakin ke depan akan semakin baik. Kalau belum lebih baik, kami akan ingatkan kembali,” katanya pada 2 Oktober 2024.
Perihal sanksi, Holik tidak menyebutkan detail. Ia hanya memastikan bahwa dana kampanye itu akan diaudit oleh akuntan publik dan KPU telah menyediakan ruang untuk tanggapan publik.
“Sikadeka merujuk PKPU Nomor 14 Tahun 2024 beserta pedoman teknis yang kami terbitkan. Kalau ada dugaan kampanye melampaui batasan atau pengeluaran, maka sisanya harus dikembalikan menjadi kas negara. Kalau misalnya dia menggunakan sumber dana terlarang, akan terkena sanksi pidana yang diatur undang-undang,” katanya. (mau/c2/nur)