Selama ini, meskipun ada rekening khusus dana kampanye di setiap pemilu, dalam pelaksanaannya terdapat sumber dana ilegal yang tidak dilaporkan.
JAKARTA, KOMPAS — Ada dua kesulitan utama dalam menciptakan politik berintegritas, yaitu sistem politik yang masih didominasi ketersediaan anggaran besar serta tidak adanya akuntabilitas dan transparansi dalam pengawasan dana kampanye. Untuk memastikan politik dapat naik kelas, perlu ada laporan rinci mengenai sumber dan penggunaan dana kampanye.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan, sistem politik di Indonesia tidak inklusif karena ada tantangan besar terkait anggaran. ”Pendirian partai politik itu dapat dilakukan kalau ada uang dan modal besar,” katanya dalam acara Indonesia Integrity Forum 2023 yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu (25/10/2023).
Hadir dalam plenary session dengan tema ”Bersiap Menuju Pemilu 2024: Memerangi Korupsi Politik”, perwakilan dari Tim Pemenangan Koalisi Indonesia Maju, koalisi pengusung bakal capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Dahnil Anzar Simanjuntak; juru bicara bakal capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Sudirman Said; dan Ketua Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Arsjad Rasyid. Acara dibuka dengan sambutan oleh pendiri Transparency International Indonesia dan Duta Besar untuk Norwegia dan Eslandia Todung Mulya Lubis serta pidato kunci oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Titi Anggraini menjelaskan, selain untuk mendirikan partai politik, dana yang besar juga dibutuhkan apabila seseorang ingin maju dalam pemilu. Akhirnya, mereka yang maju dalam kontestasi politik hanya terbatas dari kelompok yang punya sumber dana besar.
Dalam Pasal 326 dan 327 Undang-Undang Pemilu disebutkan bahwa batasan nilai sumbangan maksimal kampanye dalam pemilu dari individu hingga korporasi adalah Rp 2,5 miliar. Jika sumbangan berasal dari badan hukum usaha, jumlahnya maksimal Rp 25 miliar untuk satu kali menyumbang.
”Dalam sistem demokrasi di mana uang dominan, sulit mengharapkan integritas politik naik kelas,” kata Titi.
Selain dana yang besar, ada masalah lain yang menonjol, yaitu tidak adanya akuntabilitas sumber dan penggunaan dana kampanye. Meskipun ada rekening khusus dana kampanye, dalam pelaksanaannya terdapat sumber dana ilegal yang tidak dilaporkan. ”Uang semakin besar, tetapi tidak ada akuntabilitas,” tambahnya.
Untuk mendorong politik naik kelas, menurut Titi, perlu ada laporan sumber dan penggunaan dana kampanye yang rinci. ”Untuk mencegah korupsi, menurut saya tidak cukup dengan itikad baik. Pertama-tama perlu diwujudkan dulu akuntabilitas keuangan politik dan dana kampanye,” ucapnya.
Deretan baliho bakal calon anggota legislatif terpasang di kawasan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten, Rabu (27/9/2023).
Perwakilan dari tim pemenangan bakal capres-cawapres yang hadir berkomitmen untuk mewujudkan politik berintegritas.
Arsjad Rasyid mencontohkan sejumlah terobosan dari Ganjar Pranowo selama menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, seperti membangun 209 desa antikorupsi dan melakukan sejumlah upaya pencegahan kebocoran anggaran. Selain itu, Mahfud MD punya ketegasan melakukan upaya-upaya antikorupsi.
”Tinggal bagaimana proyek-proyek yang sudah ada dilanjutkan keduanya,” katanya.
Adapun menurut Sudirman Said, peran pemimpin sangat dibutuhkan untuk mencegah korupsi. ”Hukum dan aturan bisa diterobos, tapi kalau ada pemimpin yang beretika baik dan bermoral, itu bisa kita jaga,” ujarnya.
Sementara Dahnil Anzar Simanjuntak menampik pihaknya melakukan praktik korupsi dan nepotisme dengan mendaftarkan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo. Menurut dia, pendaftaran Gibran sudah sesuai aturan. Selain itu, keberadaan klan politik adalah sesuatu yang tak bisa dihindari.
Paling penting, menurut Dahnil, adalah memastikan motif pengajuan Prabowo dan Gibran dalam Pemilu 2024 untuk tujuan kepentingan rakyat. ”Kita lihat track record Jokowi, tidak ada tujuan mengakumulasi ekonomi dan kekuasaan. Demikian juga anak-anaknya. Bagi saya sudah terang, motifnya adalah ingin memberikan pelayanan kepada publik,” kata Dahnil.
Pendiri Transparency International Indonesia dan Duta Besar untuk Norwegia dan Eslandia, Todung Mulya Lubis, dalam sambutannya mengatakan, ada problem integritas dalam politik di Indonesia. Padahal, integritas seharusnya menjadi fondasi dalam mengelola bangsa dan negara ini.
Ahli hukum dan tokoh HAM Todung Mulya Lubis saat berkunjung ke harian <i>Kompas</i> di Menara Kompas, Jakarta, Selasa (6/6/2023).
Integritas yang lemah menyebabkan penanganan kasus hukum dilakukan dengan sistem tebang pilih. Selain itu, jumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara semakin besar.
”Kalau bicara mengenai iklim korupsi yang panas dan bagaimana mendinginkannya, satu-satunya cara yang bisa kita lakukan adalah dengan mengembalikan KPK pada kondisi sebelum revisi dilakukan,” ucapnya.
Sumber: Kompas ID