Abolisi dan Amnesti: Barter Dukungan Politik dan Pelemahan Pemberantasan Korupsi

ILUSTRASI

Pada 31 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti untuk 1.116 orang, termasuk Hasto Kristiyanto. Meski merupakan hak prerogatif presiden, pemberian abolisi dan amnesti untuk dua pesakitan kasus korupsi yang proses penegakan hukumnya belum inkracht patut dilihat sebagai intervensi politik penegakan hukum antikorupsi yang berbahaya.

Sinyal pemberian amnesti dan abolisi Presiden untuk terpidana kasus korupsi pada dasarnya sudah pernah dimunculkan. Akhir 2024, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra melempar wacana kontroversial tersebut dengan syarat pelaku korupsi mengganti kerugian keuangan negara.

Atas pemberian abolisi dan amnesti tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia(TII), dan IM57+ institute berpandangan:

Pertama, pemberian abolisi dan amnesti yang diatur dalam konstitusi sebagai hak prerogatif presiden tidak disertai ketentuan teknis yang mengatur standar pemberiannya. Oleh sebab itu, pertimbangan pemberian abolisi dan amnesti menjadi tidak jelas dan rentan dilakukan dengan sewenang-wenang. Untuk menghindarinya, ketentuan tersebut perlu diperjelas dengan pengaturan dalam undang-undang. Kewenangan ini seharusnya tidak dilakukan secara sembarangan dan memperhatikan dampak yang lebih besar.

Selain Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyebutkan bahwa dari 44.000 napi, terdapat 1.116 orang yang memenuhi syarat mendapatkan amnesti berdasarkan hasil verifikasi. Mekanisme dan metode verifikasi tersebut perlu dibuka agar pemberiannya tidak kontraproduktif dengan tujuan penegakan hukum sendiri, terutama pemberantasan korupsi.

Kedua, pemberian abolisi dan amnesti terhadap terdakwa yang kasusnya belum inkracht adalah bentuk intervensi politik penegakan hukum antikorupsi dan mencederai prinsip checks and balances. Intervensi lembaga eksekutif terhadap lembaga yudikatif mengganggu independensi peradilan. Intervensi tersebut juga berdampak negatif terhadap pengungkapan kasus yang belum final terbukti di persidangan. Padahal, pembuktian dalam persidangan diperlukan untuk melihat terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa.

Selain fungsi penegakan hukum, adanya putusan tindak pidana korupsi dapat dijadikan dasar perbaikan legislasi, sistem, kebijakan, dan tata kelola pemerintahan ke depan. Sehingga sangat penting untuk mengetahui titik lemah suatu sistem yang biasanya dapat terungkap dari proses pembuktian sebuah kasus di persidangan. Jika sebuah kasus “ditutup” begitu saja melalui amnesti dan abolisi seperti ini, maka proses persidangan akan dianggap hilang dan tidak pernah ada.

Sekalipun terdapat narasi dan kritik besar terhadap penegakan hukum yang tengah berlangsung, bentuk intervensi penegakan hukum tetap tidak dapat dibenarkan. Terlebih, terdakwa masih dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum lanjutan di pengadilan (banding, kasasi, dan peninjauan kembali). Upaya hukum lanjutan tersebut perlu dilihat sebagai ruang atau mekanisme koreksi apabila terdapat putusan hakim yang dirasa tidak adil. Penegak hukum yang janggal menangani perkara juga dapat dilaporkan melanggar Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

Ketiga, pemberian abolisi dan amnesti ini diduga tidak lepas dari narasi mengenai adanya motif politik dan kejanggalan di balik proses hukum Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong.  Politisasi penegakan hukum merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan. Namun, tudingan politisasi belum terdapat bukti konkritnya. Dugaan ini juga perlu diuji dan ditangani dalam koridor hukum dan abolisi serta amnesti menutup ruang pembuktian tersebut.

Tanpa pembuktian, pemberian amnesti dan abolisi yang menimbang dugaan politisasi penegakan hukum dapat memberikan prospek berbahaya bagi penegakan kasus korupsi ke depan. Terduga pelaku korupsi ke depan dapat memanfaatkan atau mengupayakan narasi politisasi penegakan hukum dan mengondisikan sentimen publik demi mendapat abolisi atau amnesti. Abolisi dan amnesti dapat menjadi strategi atau upaya baru bagi koruptor ke depannya untuk memperkuat impunitas dan mengerdilkan daya rusak korupsi yang sifatnya kejahatan luar biasa.

Keempat, pemberian abolisi dan amnesti patut diduga sebagai upaya rekonsiliasi elit dan tukar guling dukungan politik. Amnesti kepada Hasto Kristiyanto yang merupakan Sekjen PDIP berbarengan dengan penyelenggaraan bimbingan teknis dan kongres ke-6 PDIP dan keluarnya pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengenai dukungan terhadap pemerintahan Prabowo. Sehingga, patut diduga bahwa pemberian amnesti kepada Sekjen PDIP dilatarbelakangi motif politik yang kuat. Presiden seakan menggunakan hak prerogatif konstitusional yang umumnya digunakan dalam semangat keadilan transisional menjadi hanya sekadar alat banal untuk turut campur agenda internal sebuah partai politik.

Atas catatan tersebut ICW, TII, dan IM57+ institute mengkritik keras pemberian abolisi dan amnesti oleh presiden. Jika presiden berkomitmen menjaga marwah penegakan hukum yang tegas, adil, dan bersih dari politisasi, hal yang mendesak dilakukan adalah penguatan independensi penegakan hukum dan memastikan tidak ada politisasi kasus yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Selain itu, perlu ada peraturan perundang-undangan yang mengejawantahkan persyaratan substansi untuk memperoleh abolisi dan amnesti. Penyelesaian suatu perkara yang dinilai politis dengan kebijakan yang juga politis hanya akan memperburuk kualitas penegakan hukum itu sendiri.

Jakarta, 1 Agustus 2025

Indonesia Corruption Watch
Transparency International Indonesia
IM57+

Hubungi kami​

Transparency International Indonesia
Jl. Amil No. 5,  RT 001 RW 004, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12510
(T) 021-2279 2806, 021-2279 2807
(E): info_at_ti.or.id

© Transparency International Indonesia. All right reserved